Sabtu, 25 November 2017

Turah


“Turah mawon...”
Penggalan dialog dari film berjudul “Turah”, karya Wicaksono Wisnu Legowo yang
menggerakan saya untuk menyalami film ini melalui tulisan. Turah yang berarti sisa dalam
bahasa Jawa. Film ini pun berkesan “pas-pasan” secara tampilan, tapi kata “pas-pasan”
tersebut tidak adil jika dilontarkan tanpa pembanding atau dasar konvensi yang menyatakan
bahwa sebuah film telah memenuhi persyaratan standar, lagi pula siapa yang menciptakan
standar dalam film? Apakah Eropa sebagai tanah kelahirannya? Atau Hollywood sebagai
industrinya?
Mengulas sedikit pikiran sadar kita untuk mengingat dan melihat (walaupun tampak
samar) bahwa dunia telah terbagi dan terpecah atas kepingan yang bersifat imajiner namun
faktual yakni Barat (Occident) dan Timur (Oriental). Tidak terlepas dari Erosentrisme yang
melahirkan sebuah konsep imperalisme sebagai sebuah kekuatan yang mendominasi, Sinema
Amerika pada umumnya dan sinema Hollywood klasik pada khususnya, telah memberikan
kontribusinya kepada perkembangan sinema seluruh dunia, sebagaimana Sinema Amerika
(Hollywood) telah menempati posisi istimewa sejak berakhirnya Perang Dunia I. Sebuah era
yang mengarahkan World Cinema berartikulasi dengan persepsi budaya yang lebih luas. Lagi
pula posisi tersebut sulit untuk dirubah jika hanya dengan menentukan sinema-dominan
berdasarkan jumlah produksi maupun jumlah penonton, karena semua itu kembali bergantung
pada waktu dan tempat dominasinya, seperti yang dicontohkan dengan sinema di Jepang
bahkan India yang hingga sekarang menjadi penghasil film terbesar di dunia, namun mereka
tetap saja pada posisinya.
Sebuah hubungan bersifat oposional terjadi dalam perkembangan sinema karena telah
tercipta dikotomi didalamnya, pertama kelompok dominan seperti Hollywood dengan
“warisannya”. Kedua adalah kelompok subordinat yang “menyimpang” dari sistem
Hollywood, posisi ini ditempati oleh berbagai belahan negara lainnya seperti Prancis, daratan
Inggris, Jepang, Brazil dan negara-negara yang tergabung dalam dalam dunia ketiga1 lainnya.
Turah membawa resistansi sinema dunia ketiga terhadap stereotype para aktor/aktris,
cara kerja kamera, decoupage atau elemen lain dalam mise en scene yang didominasi oleh
Hollywood. Bekerja diluar industri seperti dua buah magnet berhadapan dengan kutub yang
berbeda, mereka beriringan walaupun selalu berjarak. Kita tidak disuguhkan seorang Reza
Rahardian, shot indah dengan berbagai “rules” ataupun naratif yang mengenyangkan.
Melainkan para aktor/aktris lokal yang entah mereka itu siapa, seakan tutup mata akan star
system.
Turah mawon. Cukup dengan sisa saja, malah membuat film ini berdiri tegak diluar
ketentuan baku industri (katanya) kreatif. Terkontaminasi, pasti. Walaupun hubungan biner
tersebut bisa dihilangkan dalam world cinema untuk pencapaiannya menuju pluralisme
liberal. Sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh tiap negara dalam menunjukan identitas
aslinya. Semua memiliki posisi yang sama, tanpa ada campur tangan siapapun, biarkan
kondisi yang membentuk mereka dengan sendirinya. Dengan paham ini maka tidak
diperlukan lagi pemikiran tentang adanya titik episentrum.


























































1 Dunia Ketiga atau Fench Third Estate, adalah sebuah pembagian atas kelas sosial yang terjadi pada masa
sebelum Revolusi Prancis (Ancient Regim). Disini status sosial dibagi menjadi tiga. Pertama, Nobility. Kedua,
Clergy dan yang ketiga adalah Commoners. (Film Theory. Robert Stam. Hal: 92-93)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar