Rabu, 23 Desember 2009

sepasang besi baja

Sepi, hanya terdengar suara yang dihasilkan oleh puluhan lingkaran besi yang menghantam sepasang besi batangan yang terbaring beriringan diatas permukaan bumi.

Ia berputar menuju tempat pemberhentian terakhir setelah ia mengantarkan ratusan nyawa yang berada dalam beberapa kotak persegi panjang diatasnya, nyawaku salah satunya.

Aku mempercayakan diriku pada benda penuh arti ini

Entah kenapa aku menyebutnya demikian, mungkin karena bentuknya yang menyerupai roti panjang dengan potongan-potongan tertentu dalam ukuran yang sama, tapi yang jelas dan akhirnya kusadari adalah, karena kendaraan ajaib ini menghubungkan antara satu tempat pemberhentian dan tempat pemberhentian lainnya hingga pemberhentian terakhir.

Berada diatas sepasang besi baja yang selalu tumbuh berdua dan bersamaan.

Kendaraan ajaib ini memberikan cukup kepastian, karena ketika kau telah memilih akan kemana, maka ia akan mengikutsertakan dirimu dalam jalurnya.

Selasa, 22 Desember 2009

MUSIK MODERN BENTUK DEMOKRASI BUNYI

(under construction)
Modern, sebuah kata yang merangkum berbagai teori tentang periode yang lahir pasca feodalisme Eropa di abad pertengahan, periode ini muncul dengan ditandai oleh runtuhnya otoritas gereja dan menguatnya otoritas akan sains (ilmu pengetahuan). Disini otoritas sains tumbuh perlahan dan parsial, namun sayangnya tidak membangun sebuah sistem yang lengkap, ia hanya berani mengungkapkan sesuatu yang telah dipastikan kebenarannya secara ilmiah pada saat itu. Di negara belahan Eropa sendiri, terutama Italia yang menghadirkan konsep Humanisme dimana menganggap manusia sebagai subjek dan pusat dari segalanya (sebagai titik episentrum), begitu pula individualisme yang semakin menguat akibat terjadinya pembebasan dari otoritas gereja. Sayangnya perkembangan modernisme ini membawa manusia menuju subjektivisme yang kemudian berkembang dengan pesat hingga menimbulkan distansi antar sesama.

Oleh karena itu, dalam seni yang menganut modernisme diabad ke 20 mencoba untuk menghancurkan subjektifitas ini, jika perspektif Barat menyatakan individualisme bersifat fundamental dalam konsep modern, seni sebagai bentuk otonom dari sebuah infrastruktur bergerak lebih maju dengan perkembangan dalam ideologi hingga teknis. Karena dapat dikatakan, bahwa seni telah memiliki indikasi terhadap konsep modernisme itu sendiri dengan kehadiran seorang seniman (artist) yang sangat menonjolkan ekspresi personalitas individu pada karyanya. Sebut saja seorang pelukis atau penyair yang menolak demokrasi dalam kerja penciptaan karya mereka dan walaupun ada sebuah bentuk kolaboratif dalam kerja seni, tetap saja akan muncul sosok individu yang dominan diantara yang lainnya. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah karya adalah wujud dari sebuah sudut pandang individu secara personal melihat dunia dengan kacamatanya sendiri.

Sebagai kilasan, kita tidak dapat melupakan peran dari Dunia Barat (occident), terhubung dengan dominasi Eropa/Dunia Barat yang menghegemoni seluruh belahan dunia dengan menempatkan dirinya sebagai ‘titik nol’ yang melahirkan standar-standar untuk berbagai instansi termasuk seni dan salah satunya ada musik.

GETARAN

Perkembangan musik dunia menurut sejarahnya terbagi atas zaman Pertengahan (476-1450), zaman Renaisans (1450 -1600), zaman Barok (1600-1750), zaman Klasik (1740-1830), zaman Romantik (1815-1910), abad ke-20 (1900-2000) dan abad ke-21 (2001-sekarang). Musik sebagai seni kelima dari tujuh seni lainnya adalah sebuah bentuk karya seni yang berisi bebunyian, baik itu alamiah maupun buatan. Sebagaimana kita telah ketahui bahwa bunyi/suara bekerja dengan getaran yang menciptakan frekuensi, amplitudo dan timbre (warna suara/bunyi). Ketiga elemen inilah yang memproduksi bunyi dari sebuah objek sebagai sumbernya. Untuk kalangan awam hingga pemula, musik terdefinisi sebagai kumpulan bunyi yang mengandung nada hingga tercipta sebuah harmonisasi. Perlu kita ketahui bahwa situasi yang mengkonsepsikan musik sebagai harmonisasi dari nada adalah produk dari superior Barat yang mengakibatkan kita terhegemoni dengan ikhlas dan menerima bahwa nada yang ada adalah ‘do, re, mi, fa, so, la dan si’. Notasi tujuh nada yang dianggap wajib hukumnya dalam penciptaan sebuah musik. Hingga sekarang formula ini masih berlaku, karena prosesnya telah mencapai titik ekualibrium yang kemudian menembus tradisi klasik dalam masyarakat.

Dalam era modern yang mengkampanyekan personal individualisme yang melahirkan dan menguatkan berbagai perspektif-subjektif, menyebabkan bentuk dan peran dari musik turut berkembang. Sebagai salah satu contoh adalah John Cage (1912-1999), seorang komposer asal Los Angeles yang berani melampaui notasi konvensional dari musik klasik dengan karyanya 4’ 33”.

Sabtu, 19 Desember 2009

Material Aesthetic


Jika sebelumnya (kaum formalis) sibuk dengan bentuk estetik, Kracauer menyatakan bahwa dirinya adalah penemu isi estetik (material aesthetic) yang terbagi atas dua bagian, bagian realita dan bagian teknik dalam film. Sehingga bagi Kracauer, adalah fungsi dari filmmaker untuk memahami keduanya, realita dan mediumnya, agar dapat menggunakan teknik yang sesuai untuk subjeknya. Tidak seperti seni lainnya yang bekerja dengan cara mentransformasikan subjek (dalam dunia fisik) dengan cara tertentu.

Pada dasarnya segala sesuatu yang berada di dalam dunia fisik ini adalah subjek sinematik. Kracauer membagi artinya menjadi dua golongan, pertama properti dasar, yakni segala sesuatu yang terdapat dalam dunia fisik (terlihat/visible) yang telah dapat dijadikan sebagai subjek sinematik. Kedua, properti teknik yang merekam dan memperlihatkan kembali apa yang telah terbiasa kita lihat dan ini yang membedakan film sebagai seni baru. Sedangkan untuk properti teknik, Kracauer menyarankan filmmaker agar menggunakan seperlunya, sebagai pendukung fungsi utama dari medium.

Sebagai teoritikus film yang digolongkan dalam tradisi realis, Kracauer percaya bahwa sinema adalah turunan dari proses fotografi. Membuatnya mengeksplorasi bentuk dari subjek sinematik dan mengkonstruksi imajinya dengan tujuan menampilkan sisi artistik (dalam sudut pandang fotografi). Dengan kedua metode ini Kracauer membuat klasifikasi atas tipe film, film in fact dan experimental film.

Dengan adanya pengklasifikasian ini menyadarkan Kracauer bahwa film telah menjauh dari fungsi awal dan membuatnya bertujuan untuk mengembalikan sinema pada tempat dimana seharusnya dia ada. Sehingga sinema dapat dijadikan sebagai penebus kesalahan dari ilmu pengetahuan yang akhirnya merusak dunia dengan munculnya berbagai ideologi. Dengan tujuan sinema yang meggabungkan berbagai pengalaman dan pengetahuan universal tentang dunia.

*****
Filmmaker bertugas untuk mencari sisi lain dari subjek di dalam dunia fisik agar terlihat sisi artistiknya tanpa kehilangan fungsi idealnya dan sinema dapat dijadikan sebagai penghubung dari berbagai pengalaman dan pengetahuan.

Selasa, 15 Desember 2009

Cinema of Poetry


Dalam sinema kita sering mendengar istilah bahasa visual (gambar/film), sebuah istilah yang muncul karena film adalah salah satu bentuk dari media komunikasi, walaupun bersifat searah. Bahasa film berkerja tidak secara verbal (lin-sign/language sign) layaknya bahasa yang digunakan sehari-hari, namun komunikasi yang ia sampaikan adalah dengan kode-kode yang terkandung didalamnya, menjadikannya sebuah sistem linguistik yang menggunakan tanda sebagai medianya.

Alternatif komunikasi secara visual menjadi dasar dari bahasa film ini tidak memiliki wadah, layaknya bahasa verbal memiliki sebuah kamus sebagai tempat berkumpulnya ‘kata-kata’ (words), sehingga terjadi sebuah keyakinan bersama akan kata-kata tersebut. Para penulis menggunakan kata-kata yang terdapat dalam kamus dalam menjelaskan sesuatu hal dan kamus ini pun berfungsi sebagai pengawal agar tulisan tetap berada pada jalur, sehingga proses ini yang memberi/meningkatkan nilai dari kata-kata.

Berbeda dengan film, mereka tidak memiliki kamus yang dapat dijadikan sebagai pegangan para filmmaker untuk memberi/meningkatkan nilai dari filmnya. Pada tahun 1950-an mulai muncul beberapa konvensi yang mencoba mengkamuskan abstraksi dari bahasa film untuk mendapatkan nilai-nilainya, namun konvensi yang muncul terlihat aneh dengan rumus medahulukan stilistik sebelum gramatikalnya. Namun disini filmmaker dibantu oleh lingkungan yang sanggup mengekspresikan dirinya sendiri melalui citra visual yang mendapat konvensi dari (Pasolini menyebutnya dengan) ‘im-signs’, sebuah dunia memori dan mimpi. Analogi im-signs inilah yang dimanfaatkan oleh para filmmaker dalam filmnya dalam membentuk sebuah tanda yang memiliki nilai.

Filmmaker dalam memvisualkan objeknya harus dapat memisahkan/mangambil unit im-signs ini untuk menjadikannya sebuah objek independen yang kemudian dapat dikumpulkan ke dalam kamus im-signs sehingga dapat menerapkan fungsi dari seorang penulis yang memberi tanda dengan kualitas ekspresif individualnya, sehingga cara kerja film dengan mevisualkan objeknya menjadi dasar dari bahasa puisi, karena seperti konvensi yang dimanfaatkan penulis melalui kamusnya, citra adalah bentuk konkrit dan memiliki konvensi tersendiri yang dibentuk oleh gestur, lingkungan dan memori serta mimpi. Hal ini menjadikan film sebagai bentuk dan genre dengan tekhnik baru dalam berekspresi.

Carnivalesque and Transgression


Carnivalesque , sebagai warisan tradisi rakyat dari zaman Renaisance di abad pertengahan Eropa yang telah memberi sedikit/banyak kontribusi akan bentuk baru dari sinema/film. Pembahasan kali ini mengajak kita kembali ke abad pertengahan, pada zaman Renaisance, pada sebuah tradisi karnaval di Eropa. Dalam tiga chapter ini David Robb, Evelyn Preuss dan Mark Goodall mengangkat beberapa tema pembahasan yang berbeda dalam menggambarkan beberapa elemen yang secara politik memaparkan situasi dalam tatanan sosial sebuah negara, berikut hubungan antar penguasa dengan masyarakatnya.


Peralihan zaman feodal menuju modern mendapat banyak sambutan meriah, baik itu berupa dukungan maupun kontra dari berbagai komunitas masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa Eropa kepada sebuah era industrialisasi yang menitikberatkan perhatiannya terhadap produksi. Era yang dianggap baru ini memiliki prinsip individualisme yang kuat, sehingga melahirkan berbagai ideologi-ideologi baru yang selanjutnya menciptakan kontradiksi baru pula.


Yang menjadi permasalahan jika melihat dari pembahasan “Carnival and Transgression” dimana sebuah tradisi yang mengandung semboyan ‘dari kita, oleh kita dan untuk kita’ memiliki pengaruh besar dalam mencuri perhatian orang banyak sehingga tercipta sebuah kontradiksi dengan era otoriter yang ada sebelumnya. Namun bagaimana para seniman yang mewakili kelas bawah ini mengekspresikan dan memprotes konflik sosial yang ada dengan karya-karyanya?


ISI
A. Carnivalesque Meets Modernity in the Films of Karl Valentin and Charlie Chaplin
David Robb mencoba memaparkan sebuah konflik sosial dalam modernitas yang terkandung dalam film-film Valentin dan Chaplin yang menggunakan teknik teater yang terdapat dalam tradisi Carnivalesque. Kedua badut (komedian) yang dianggap sebagai seniman avant-garde ini memiliki kesamaan dengan gaya mengarah pada slapstik mereka menggambarkan keadaan sosial, politik dan budaya dinegaranya. Walaupun hanya dianggap sebagai karya seni ‘murahan’ pada saat itu yang berakar dari seni hiburan rakyat (Volkssanger, Jerman dan Variety Hall, London), Chaplin dan Valentin bereaksi terhadap kemajuan teknologi yang memegang kendali atas waktu dan kehidupan manusia. Karya-karya mereka tidak dapat dianggap sebagai bentuk protes secara politik terhadap situasi yang ada, namun hanya sebuah cerminan dari kehidupan masyarakat secara komikal dengan segala kekurangannya dalam bertahan hidup.
Jika dilihat dari sejarah tradisi Carnivalesque sendiri yang berkembang diabad pertengahan, maka representasi Valentin dan Chaplin dengan para karakter badutnya ini dapat disebut mengandung unsur politik, karena selebrasi karnaval (dalam Carnivalesque) itu sendiri mengandung ide atas metamorfosis, dimana sekumpulan masyarakat secara temporari menggunakan topeng atau sejenisnya dan berlaga dengan kepribadian lain.
Sensitifitas yang ditunjukan oleh Chaplin dan Valentin atas reaksinya terhadap sebuah konsep pada elemen di zaman modern, konsep waktu, dimana dilakukan penyeragaman waktu yang berpusat pada Greenwich (1884), hingga terbentuk otoritas waktu. Hal inilah yang dicoba dipaparkan oleh kedua badut tersebut, bagaimana waktu mendominasi masyarakat, namun waktu tidak berpengaruh untuk para badut. Bagi Bakhtin hal ini bukanlah sebuah abstraksi, namun sebuah penjabaran akan metamorfosis dunia, pembentukan ulang dari sesuatu yang ‘tua’ menjadi sesuatu yang ‘baru’.


B. The Bakhtinian Headstands of East German Cinema
Pada chapter ini Evelyn Preuss mengulas pembahasan Mikhael Bakhtin terhadap seorang intelektual-humanis Prancis Francois Rebelais. Melalui seminalnya ‘Rebelais and His World’ (1984), Bakhtin menyalahkan kegagalan sejarah dan kesalahpahaman atas hilangnya sensibilitas Carnivalesque yang memberi Bakhtin sebuah dorongan untuk mengembalikan semangat dari Carnivalesque tersebut. Kemudian Preuss menarik benang merah atas kedua orang tersebut yang secara umum kritik mereka hanya tertuju pada eranya, dimana situasi yang ada turut membentuk tekstualnya. Dipastikan oleh Preuss bahwa kekacauan situasi di Jerman ini pula yang memberi kontribusi besar dalam karakterisasi pada produksi Jerman Timur, ditambah dengan kehadiran sinema Jerman Timur yang membawa sejarah dan dongeng.
Sinema Jerman Timur yang digolong kedalam ‘Carnivalesque film’ oleh Preuss telah membentuk sebuah genre baru dalam sinema, dengan eksploitasinya akan tradisi karnaval dan pengaplikasian elemen-elemen dari Carnivalesque kedalam plot dan mise-en-scene. Genre ini seakan menjadi transportasi paling aman bagi para filmmaker dalam menegur ketertutupan politik Jerman Timur dengan humor.
Proyek Bakhtin dalam mengembalikan semangat Carnivalesque mendapat dukungan dari pimpinan partai Soviet, karena kepeduliannya terhadap ideologi revolusi yang menjadi program politik Soviet. Sebagai salah satu program dari Revolusi Rusia dalam membentuk legitimasi gerakan politik sejak dimulainya Revolusi Prancis yang juga menggerakan para ilmuwan seperti Francis Fukuyama atas penegasannya terhadap ideologi demokrasi liberal. Jerman Timur mengangkat prinsip ‘Volksregierung’ (people’s goverment), walaupun sebuah diskursi menyatakan bahwa demokrasi adalah instrumen dari kelas penguasa juga.
Secara sederhana disini modernitas adalah merupakan sebuah bentuk demokrasi, tiap individu memiliki suara yang sama dalam situasi (sosial-politik) hingga muncul sebuah perspektif self-centered yang juga menjadi landasan dari modernisme itu sendiri.


C. Shockumentery Evidence: The Perverse Politics of the Mundo Film
Mark Goodall membahas sebuah genre film yang tidak masuk hitungan dalam sejarah sinema, film mondo. Genre ini lahir dari sebuah film berjudul “Mondo Cane”. Tidak sedikit pengkaji film memberi kritik negatif tentang film mondo, hingga mendapat status ‘bad films’ karena dianggap menyimpang dari kerja seni konvensional. Walaupun demikian, Goodall melihat kekurangan mondo sebagai kelebihannya yang memiliki aspek eksploitasi dan voyeurisme yang dikemas secara politik dengan bentuk yang ‘jelek’ dalam menggambarkan iklim sosial dan budaya.
Perlawanan secara politik yang muncul dari film-film mondo ini karena adanya intervensi dari Italia, para filmmaker yang mencoba memenuhi keinginan penonton Italia yang sangat mengagumi seksualitas yang seksi. Estetika akan ketidaketisan ini dipertegas kembali oleh Christian Hansen, Catherine Needham dan Bill Nichols yang menggambarkannya sebagai ‘pornotopia dan etnotopia’, dimana film merepresentasikan secara operasi semiotik sebuah patologi voyeuristik.



seakan kesimpulan
Mungkin seniman-seniman diatas pantas mendapat sebutan sebagai ‘Badut Politik’, representasinya secara politik yang penuh dengan simbol sosial-budaya menggambarkan situasi/keadaan yang ada. Berada dibalik topeng sebuah tradisi dan seni kelas bawah memberikan mereka posisi aman dalam berekspresi, karena status dari Carnivalesque tersebut yang memudarkan batasan sebuah peran (performance/act) dengan realita kehidupan sehari-hari.

reference
- Stephanie Dennison dan Song Hwee Lim. Remapping World Cinema, Identity, Culture and Politics in Film. Wallflower Press. New York dan London : 2006.