Rabu, 23 Desember 2009

sepasang besi baja

Sepi, hanya terdengar suara yang dihasilkan oleh puluhan lingkaran besi yang menghantam sepasang besi batangan yang terbaring beriringan diatas permukaan bumi.

Ia berputar menuju tempat pemberhentian terakhir setelah ia mengantarkan ratusan nyawa yang berada dalam beberapa kotak persegi panjang diatasnya, nyawaku salah satunya.

Aku mempercayakan diriku pada benda penuh arti ini

Entah kenapa aku menyebutnya demikian, mungkin karena bentuknya yang menyerupai roti panjang dengan potongan-potongan tertentu dalam ukuran yang sama, tapi yang jelas dan akhirnya kusadari adalah, karena kendaraan ajaib ini menghubungkan antara satu tempat pemberhentian dan tempat pemberhentian lainnya hingga pemberhentian terakhir.

Berada diatas sepasang besi baja yang selalu tumbuh berdua dan bersamaan.

Kendaraan ajaib ini memberikan cukup kepastian, karena ketika kau telah memilih akan kemana, maka ia akan mengikutsertakan dirimu dalam jalurnya.

Selasa, 22 Desember 2009

MUSIK MODERN BENTUK DEMOKRASI BUNYI

(under construction)
Modern, sebuah kata yang merangkum berbagai teori tentang periode yang lahir pasca feodalisme Eropa di abad pertengahan, periode ini muncul dengan ditandai oleh runtuhnya otoritas gereja dan menguatnya otoritas akan sains (ilmu pengetahuan). Disini otoritas sains tumbuh perlahan dan parsial, namun sayangnya tidak membangun sebuah sistem yang lengkap, ia hanya berani mengungkapkan sesuatu yang telah dipastikan kebenarannya secara ilmiah pada saat itu. Di negara belahan Eropa sendiri, terutama Italia yang menghadirkan konsep Humanisme dimana menganggap manusia sebagai subjek dan pusat dari segalanya (sebagai titik episentrum), begitu pula individualisme yang semakin menguat akibat terjadinya pembebasan dari otoritas gereja. Sayangnya perkembangan modernisme ini membawa manusia menuju subjektivisme yang kemudian berkembang dengan pesat hingga menimbulkan distansi antar sesama.

Oleh karena itu, dalam seni yang menganut modernisme diabad ke 20 mencoba untuk menghancurkan subjektifitas ini, jika perspektif Barat menyatakan individualisme bersifat fundamental dalam konsep modern, seni sebagai bentuk otonom dari sebuah infrastruktur bergerak lebih maju dengan perkembangan dalam ideologi hingga teknis. Karena dapat dikatakan, bahwa seni telah memiliki indikasi terhadap konsep modernisme itu sendiri dengan kehadiran seorang seniman (artist) yang sangat menonjolkan ekspresi personalitas individu pada karyanya. Sebut saja seorang pelukis atau penyair yang menolak demokrasi dalam kerja penciptaan karya mereka dan walaupun ada sebuah bentuk kolaboratif dalam kerja seni, tetap saja akan muncul sosok individu yang dominan diantara yang lainnya. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah karya adalah wujud dari sebuah sudut pandang individu secara personal melihat dunia dengan kacamatanya sendiri.

Sebagai kilasan, kita tidak dapat melupakan peran dari Dunia Barat (occident), terhubung dengan dominasi Eropa/Dunia Barat yang menghegemoni seluruh belahan dunia dengan menempatkan dirinya sebagai ‘titik nol’ yang melahirkan standar-standar untuk berbagai instansi termasuk seni dan salah satunya ada musik.

GETARAN

Perkembangan musik dunia menurut sejarahnya terbagi atas zaman Pertengahan (476-1450), zaman Renaisans (1450 -1600), zaman Barok (1600-1750), zaman Klasik (1740-1830), zaman Romantik (1815-1910), abad ke-20 (1900-2000) dan abad ke-21 (2001-sekarang). Musik sebagai seni kelima dari tujuh seni lainnya adalah sebuah bentuk karya seni yang berisi bebunyian, baik itu alamiah maupun buatan. Sebagaimana kita telah ketahui bahwa bunyi/suara bekerja dengan getaran yang menciptakan frekuensi, amplitudo dan timbre (warna suara/bunyi). Ketiga elemen inilah yang memproduksi bunyi dari sebuah objek sebagai sumbernya. Untuk kalangan awam hingga pemula, musik terdefinisi sebagai kumpulan bunyi yang mengandung nada hingga tercipta sebuah harmonisasi. Perlu kita ketahui bahwa situasi yang mengkonsepsikan musik sebagai harmonisasi dari nada adalah produk dari superior Barat yang mengakibatkan kita terhegemoni dengan ikhlas dan menerima bahwa nada yang ada adalah ‘do, re, mi, fa, so, la dan si’. Notasi tujuh nada yang dianggap wajib hukumnya dalam penciptaan sebuah musik. Hingga sekarang formula ini masih berlaku, karena prosesnya telah mencapai titik ekualibrium yang kemudian menembus tradisi klasik dalam masyarakat.

Dalam era modern yang mengkampanyekan personal individualisme yang melahirkan dan menguatkan berbagai perspektif-subjektif, menyebabkan bentuk dan peran dari musik turut berkembang. Sebagai salah satu contoh adalah John Cage (1912-1999), seorang komposer asal Los Angeles yang berani melampaui notasi konvensional dari musik klasik dengan karyanya 4’ 33”.

Sabtu, 19 Desember 2009

Material Aesthetic


Jika sebelumnya (kaum formalis) sibuk dengan bentuk estetik, Kracauer menyatakan bahwa dirinya adalah penemu isi estetik (material aesthetic) yang terbagi atas dua bagian, bagian realita dan bagian teknik dalam film. Sehingga bagi Kracauer, adalah fungsi dari filmmaker untuk memahami keduanya, realita dan mediumnya, agar dapat menggunakan teknik yang sesuai untuk subjeknya. Tidak seperti seni lainnya yang bekerja dengan cara mentransformasikan subjek (dalam dunia fisik) dengan cara tertentu.

Pada dasarnya segala sesuatu yang berada di dalam dunia fisik ini adalah subjek sinematik. Kracauer membagi artinya menjadi dua golongan, pertama properti dasar, yakni segala sesuatu yang terdapat dalam dunia fisik (terlihat/visible) yang telah dapat dijadikan sebagai subjek sinematik. Kedua, properti teknik yang merekam dan memperlihatkan kembali apa yang telah terbiasa kita lihat dan ini yang membedakan film sebagai seni baru. Sedangkan untuk properti teknik, Kracauer menyarankan filmmaker agar menggunakan seperlunya, sebagai pendukung fungsi utama dari medium.

Sebagai teoritikus film yang digolongkan dalam tradisi realis, Kracauer percaya bahwa sinema adalah turunan dari proses fotografi. Membuatnya mengeksplorasi bentuk dari subjek sinematik dan mengkonstruksi imajinya dengan tujuan menampilkan sisi artistik (dalam sudut pandang fotografi). Dengan kedua metode ini Kracauer membuat klasifikasi atas tipe film, film in fact dan experimental film.

Dengan adanya pengklasifikasian ini menyadarkan Kracauer bahwa film telah menjauh dari fungsi awal dan membuatnya bertujuan untuk mengembalikan sinema pada tempat dimana seharusnya dia ada. Sehingga sinema dapat dijadikan sebagai penebus kesalahan dari ilmu pengetahuan yang akhirnya merusak dunia dengan munculnya berbagai ideologi. Dengan tujuan sinema yang meggabungkan berbagai pengalaman dan pengetahuan universal tentang dunia.

*****
Filmmaker bertugas untuk mencari sisi lain dari subjek di dalam dunia fisik agar terlihat sisi artistiknya tanpa kehilangan fungsi idealnya dan sinema dapat dijadikan sebagai penghubung dari berbagai pengalaman dan pengetahuan.

Selasa, 15 Desember 2009

Cinema of Poetry


Dalam sinema kita sering mendengar istilah bahasa visual (gambar/film), sebuah istilah yang muncul karena film adalah salah satu bentuk dari media komunikasi, walaupun bersifat searah. Bahasa film berkerja tidak secara verbal (lin-sign/language sign) layaknya bahasa yang digunakan sehari-hari, namun komunikasi yang ia sampaikan adalah dengan kode-kode yang terkandung didalamnya, menjadikannya sebuah sistem linguistik yang menggunakan tanda sebagai medianya.

Alternatif komunikasi secara visual menjadi dasar dari bahasa film ini tidak memiliki wadah, layaknya bahasa verbal memiliki sebuah kamus sebagai tempat berkumpulnya ‘kata-kata’ (words), sehingga terjadi sebuah keyakinan bersama akan kata-kata tersebut. Para penulis menggunakan kata-kata yang terdapat dalam kamus dalam menjelaskan sesuatu hal dan kamus ini pun berfungsi sebagai pengawal agar tulisan tetap berada pada jalur, sehingga proses ini yang memberi/meningkatkan nilai dari kata-kata.

Berbeda dengan film, mereka tidak memiliki kamus yang dapat dijadikan sebagai pegangan para filmmaker untuk memberi/meningkatkan nilai dari filmnya. Pada tahun 1950-an mulai muncul beberapa konvensi yang mencoba mengkamuskan abstraksi dari bahasa film untuk mendapatkan nilai-nilainya, namun konvensi yang muncul terlihat aneh dengan rumus medahulukan stilistik sebelum gramatikalnya. Namun disini filmmaker dibantu oleh lingkungan yang sanggup mengekspresikan dirinya sendiri melalui citra visual yang mendapat konvensi dari (Pasolini menyebutnya dengan) ‘im-signs’, sebuah dunia memori dan mimpi. Analogi im-signs inilah yang dimanfaatkan oleh para filmmaker dalam filmnya dalam membentuk sebuah tanda yang memiliki nilai.

Filmmaker dalam memvisualkan objeknya harus dapat memisahkan/mangambil unit im-signs ini untuk menjadikannya sebuah objek independen yang kemudian dapat dikumpulkan ke dalam kamus im-signs sehingga dapat menerapkan fungsi dari seorang penulis yang memberi tanda dengan kualitas ekspresif individualnya, sehingga cara kerja film dengan mevisualkan objeknya menjadi dasar dari bahasa puisi, karena seperti konvensi yang dimanfaatkan penulis melalui kamusnya, citra adalah bentuk konkrit dan memiliki konvensi tersendiri yang dibentuk oleh gestur, lingkungan dan memori serta mimpi. Hal ini menjadikan film sebagai bentuk dan genre dengan tekhnik baru dalam berekspresi.

Carnivalesque and Transgression


Carnivalesque , sebagai warisan tradisi rakyat dari zaman Renaisance di abad pertengahan Eropa yang telah memberi sedikit/banyak kontribusi akan bentuk baru dari sinema/film. Pembahasan kali ini mengajak kita kembali ke abad pertengahan, pada zaman Renaisance, pada sebuah tradisi karnaval di Eropa. Dalam tiga chapter ini David Robb, Evelyn Preuss dan Mark Goodall mengangkat beberapa tema pembahasan yang berbeda dalam menggambarkan beberapa elemen yang secara politik memaparkan situasi dalam tatanan sosial sebuah negara, berikut hubungan antar penguasa dengan masyarakatnya.


Peralihan zaman feodal menuju modern mendapat banyak sambutan meriah, baik itu berupa dukungan maupun kontra dari berbagai komunitas masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa Eropa kepada sebuah era industrialisasi yang menitikberatkan perhatiannya terhadap produksi. Era yang dianggap baru ini memiliki prinsip individualisme yang kuat, sehingga melahirkan berbagai ideologi-ideologi baru yang selanjutnya menciptakan kontradiksi baru pula.


Yang menjadi permasalahan jika melihat dari pembahasan “Carnival and Transgression” dimana sebuah tradisi yang mengandung semboyan ‘dari kita, oleh kita dan untuk kita’ memiliki pengaruh besar dalam mencuri perhatian orang banyak sehingga tercipta sebuah kontradiksi dengan era otoriter yang ada sebelumnya. Namun bagaimana para seniman yang mewakili kelas bawah ini mengekspresikan dan memprotes konflik sosial yang ada dengan karya-karyanya?


ISI
A. Carnivalesque Meets Modernity in the Films of Karl Valentin and Charlie Chaplin
David Robb mencoba memaparkan sebuah konflik sosial dalam modernitas yang terkandung dalam film-film Valentin dan Chaplin yang menggunakan teknik teater yang terdapat dalam tradisi Carnivalesque. Kedua badut (komedian) yang dianggap sebagai seniman avant-garde ini memiliki kesamaan dengan gaya mengarah pada slapstik mereka menggambarkan keadaan sosial, politik dan budaya dinegaranya. Walaupun hanya dianggap sebagai karya seni ‘murahan’ pada saat itu yang berakar dari seni hiburan rakyat (Volkssanger, Jerman dan Variety Hall, London), Chaplin dan Valentin bereaksi terhadap kemajuan teknologi yang memegang kendali atas waktu dan kehidupan manusia. Karya-karya mereka tidak dapat dianggap sebagai bentuk protes secara politik terhadap situasi yang ada, namun hanya sebuah cerminan dari kehidupan masyarakat secara komikal dengan segala kekurangannya dalam bertahan hidup.
Jika dilihat dari sejarah tradisi Carnivalesque sendiri yang berkembang diabad pertengahan, maka representasi Valentin dan Chaplin dengan para karakter badutnya ini dapat disebut mengandung unsur politik, karena selebrasi karnaval (dalam Carnivalesque) itu sendiri mengandung ide atas metamorfosis, dimana sekumpulan masyarakat secara temporari menggunakan topeng atau sejenisnya dan berlaga dengan kepribadian lain.
Sensitifitas yang ditunjukan oleh Chaplin dan Valentin atas reaksinya terhadap sebuah konsep pada elemen di zaman modern, konsep waktu, dimana dilakukan penyeragaman waktu yang berpusat pada Greenwich (1884), hingga terbentuk otoritas waktu. Hal inilah yang dicoba dipaparkan oleh kedua badut tersebut, bagaimana waktu mendominasi masyarakat, namun waktu tidak berpengaruh untuk para badut. Bagi Bakhtin hal ini bukanlah sebuah abstraksi, namun sebuah penjabaran akan metamorfosis dunia, pembentukan ulang dari sesuatu yang ‘tua’ menjadi sesuatu yang ‘baru’.


B. The Bakhtinian Headstands of East German Cinema
Pada chapter ini Evelyn Preuss mengulas pembahasan Mikhael Bakhtin terhadap seorang intelektual-humanis Prancis Francois Rebelais. Melalui seminalnya ‘Rebelais and His World’ (1984), Bakhtin menyalahkan kegagalan sejarah dan kesalahpahaman atas hilangnya sensibilitas Carnivalesque yang memberi Bakhtin sebuah dorongan untuk mengembalikan semangat dari Carnivalesque tersebut. Kemudian Preuss menarik benang merah atas kedua orang tersebut yang secara umum kritik mereka hanya tertuju pada eranya, dimana situasi yang ada turut membentuk tekstualnya. Dipastikan oleh Preuss bahwa kekacauan situasi di Jerman ini pula yang memberi kontribusi besar dalam karakterisasi pada produksi Jerman Timur, ditambah dengan kehadiran sinema Jerman Timur yang membawa sejarah dan dongeng.
Sinema Jerman Timur yang digolong kedalam ‘Carnivalesque film’ oleh Preuss telah membentuk sebuah genre baru dalam sinema, dengan eksploitasinya akan tradisi karnaval dan pengaplikasian elemen-elemen dari Carnivalesque kedalam plot dan mise-en-scene. Genre ini seakan menjadi transportasi paling aman bagi para filmmaker dalam menegur ketertutupan politik Jerman Timur dengan humor.
Proyek Bakhtin dalam mengembalikan semangat Carnivalesque mendapat dukungan dari pimpinan partai Soviet, karena kepeduliannya terhadap ideologi revolusi yang menjadi program politik Soviet. Sebagai salah satu program dari Revolusi Rusia dalam membentuk legitimasi gerakan politik sejak dimulainya Revolusi Prancis yang juga menggerakan para ilmuwan seperti Francis Fukuyama atas penegasannya terhadap ideologi demokrasi liberal. Jerman Timur mengangkat prinsip ‘Volksregierung’ (people’s goverment), walaupun sebuah diskursi menyatakan bahwa demokrasi adalah instrumen dari kelas penguasa juga.
Secara sederhana disini modernitas adalah merupakan sebuah bentuk demokrasi, tiap individu memiliki suara yang sama dalam situasi (sosial-politik) hingga muncul sebuah perspektif self-centered yang juga menjadi landasan dari modernisme itu sendiri.


C. Shockumentery Evidence: The Perverse Politics of the Mundo Film
Mark Goodall membahas sebuah genre film yang tidak masuk hitungan dalam sejarah sinema, film mondo. Genre ini lahir dari sebuah film berjudul “Mondo Cane”. Tidak sedikit pengkaji film memberi kritik negatif tentang film mondo, hingga mendapat status ‘bad films’ karena dianggap menyimpang dari kerja seni konvensional. Walaupun demikian, Goodall melihat kekurangan mondo sebagai kelebihannya yang memiliki aspek eksploitasi dan voyeurisme yang dikemas secara politik dengan bentuk yang ‘jelek’ dalam menggambarkan iklim sosial dan budaya.
Perlawanan secara politik yang muncul dari film-film mondo ini karena adanya intervensi dari Italia, para filmmaker yang mencoba memenuhi keinginan penonton Italia yang sangat mengagumi seksualitas yang seksi. Estetika akan ketidaketisan ini dipertegas kembali oleh Christian Hansen, Catherine Needham dan Bill Nichols yang menggambarkannya sebagai ‘pornotopia dan etnotopia’, dimana film merepresentasikan secara operasi semiotik sebuah patologi voyeuristik.



seakan kesimpulan
Mungkin seniman-seniman diatas pantas mendapat sebutan sebagai ‘Badut Politik’, representasinya secara politik yang penuh dengan simbol sosial-budaya menggambarkan situasi/keadaan yang ada. Berada dibalik topeng sebuah tradisi dan seni kelas bawah memberikan mereka posisi aman dalam berekspresi, karena status dari Carnivalesque tersebut yang memudarkan batasan sebuah peran (performance/act) dengan realita kehidupan sehari-hari.

reference
- Stephanie Dennison dan Song Hwee Lim. Remapping World Cinema, Identity, Culture and Politics in Film. Wallflower Press. New York dan London : 2006.

Senin, 23 November 2009

Metafora Kapitalisme dalam Titatnic

I. PENDAHULUAN

A. PENGANTAR

Mungkin dalam tulisan ini saya akan membahas sebuah sistem yang pernah terjadi dalam tatanan sebuah masyarakat, sebuah sistem yang dapat disebut pembaharuan dari sistem sebelumnya yang dianggap telah merugikan orang banyak. Kapitalisme, sebuah paham yang dianut oleh berbagai negara di belahan Barat yang lepas dari selubung suci Feodalisme. Ketika saya berbica tentang berbagai sistem yang berada dalam tatanan sosial ini, bukan berarti saya telah mengusai sebuah pemikiran (ideologi) yang dianut oleh beberapa negara besar dunia Barat, namun ini hanya sebagai penjabaran akan ketertidaktahuan manusia yang mencoba menggali jawaban.

Melalui kaca mata Marx dapat terlihat bagaimana seseorang / golongan telah berusaha untuk menggambarkan keadaan masyarakat dijaman Kapitalis, serta berbagai pesan yang berusaha keluar untuk memperlihatkan berbagai bentuk kemewahan yang menjamin para penganutnya akan kehidupan mereka.

B. LATAR BELAKANG
Manusia dapat disebut sebagai mahluk ganda yang aneh, disatu sisi ia dapat disebut sebagai mahluk alamiah, namun di sisi yang lain ketika ia dihadapkan langsung dengan alam, maka ia akan merasa terasing dan membutuhkan penyesuaian terlebih dahulu, tidak seperti hewan yang dapat hidup langsung dengan alam, jika hewan hanya memproduksi apa yang mereka butuhkan sesuai untuk kelangsungan hidupnya, manusia memproduksi lebih dari kebutuhan hidupnya, ia memproduksi secara universal dan bebas dari kebutuhan fisik. Maka, pekerjaan semacam inilah yang menjadi salah satu alasan berbedanya manusia dengan binatang. Selain itu, pekerjaan juga membuat manusia menemukan jati dirinya sebagai mahluk yang nyata dan bebas, karena manusia memiliki kebebasan dalam pekerjaannya untuk memproduksi segala sesuatu sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Oleh karena hal tersebut, pekerjaan manusia dalam memproduksi berbagai jenis kebutuhan bukan hanya untuk kelangsungan hidup dirinya sendiri atau golongannya, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain. Karena seseorang akan senang ketika mengetahui hasil dari kerja kerasnya menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi orang lain, tidak perlu jauh kita melihat, jika kita memperhatikan dan menyadari di sekeliling atau bahkan kita sendiri pasti pernah merasakan sebuah kesenangan, ketika kita mendapatkan / memiliki sesuatu yang menjadi kebutuhan hidup kita (baik itu kebutuhan primer maupun bukan) dan ternyata sesuatu tersebut adalah sebuah produk dari hasil pekerjaan seseorang.

Hal tersebut yang menyatakan bahwa manusia sebagai individu adalah juga sebagai mahluk sosial, karena ia tidak dapat bekerja untuk memproduksi seluruh kebutuhan hidupnya, ia membutuhkan hasil pekerjaan orang lain untuk memenuhinya. Layaknya seorang filmmaker yang membutuhkan hasil pekerjaan orang lain yang berbentuk film (seluloid), kamera dan sebagainya untuk membuatnya dapat bekerja untuk memproduksi sebuah film.

Dalam hal ini tidak semua hasil pekerjaan (produk) yang manusia hasilkan memiliki nilai yang sama, contohnya seorang ilmuwan akan menghasilkan sebuah produk dengan nilai yang berbeda dengan produk yang dihasilkan oleh seorang pengerajin bata, baik itu dalam nilai pakai, maupun tukar. Sehingga dapat dikatakan di sini, bahwa hasil pekerjaan seseorang akan menunjukan identitas sosial dari orang tersebut dan tidak dapat dipungkiri, pada kenyataannya dalam tatanan masyarakat seorang individu dinilai dari pekerjaan yang ia lakukan (Franz Magnis : 1999). Seorang koki akan dapat dinilai melalui rasa kelezatan masakannya, kecakapan seorang petani dinilai melalui sawah yang menghijau, begitupun dengan pekerjaan lainnya.

Seiring berkembangnya jaman, kepentingan manusia dalam bekerja (telah kita ketahui sebelumnya) bukan lagi untuk bertahan hidup semata, namun untuk memenuhi kebutuhannya dalam usaha meningkatkan status sosialnya dalam masyarakat, meningkatkan situasi mereka, namun keadaan ini (manusia dan pekerjaan) dialienasi, sebuah konsep yang disebut Marx dalam menggambarkan penyelewengan hubungan antara pekerjaan dengan sifat dasar manusia oleh kapitalisme, karena output dari kapitalisme ini sendiri adalah nilai tukar yang lebih, bukan nilai pakai. Sehingga masyarakat memproduksi atau membeli sesuatu bukan berdasarkan kebutuhan karena ia mau menggunakannya, melainkan ia ingin menjualnya lagi dengan keuntungan setinggi mungkin.

Secara objektif, manusia yang berperan sebagai individu memiliki kepentingan agar dirinya tidak ditindas dan didominasi oleh individu maupun kelompok lain. Fenomena ini menjadi sebuah proses nyata dari kehidupan manusia dalam berkompetisi untuk bertahan hidup dan mensejahterakan dirinya. Kompetisi yang terjadi dalam lembaga sosial ini melahirkan tingkatan – tingkatan pada manusia yang akhirnya melahirkan seorang pemenang yang menjadi penguasa (Dr. Darsono P : 2007).

Hal inilah yang kemudian dalam masyarakat kapitalis menurut pandangan Marx dibagi menjadi dua kelas sosial yang berbeda yang akhirnya melahirkan kepentingan yang bertolak belakang. Pertama, kelas pekerja (proletar) yang memiliki tenaga kerja, kemampuan dan bakat dalam berproduksi. Kedua, kelas penguasa (kapitalis, borjuis atau pemodal) yang memiliki modal berupa alat produksi hingga tempat produksi. Kedua kelas sosial ini bersifat saling membutuhkan, walaupun salah satunya, yakni kelas pekerja sebagai kelas yang terbawah atau subordinat dari sistem ini menjadi kelas yang tereksploitasi dan tertindas akan kekuasaan kelas penguasa.

Karena kelas penguasa berada diposisi atas, di puncak sebuah tatanan sosial, maka memiliki kepentingan dalam mempertahankan status quo mereka. Dapat dianggap sebagai sifat naluriah manusia, baik itu secara sadar maupun tidak, karena sang penguasa disini memiliki ketakutan akan kehilangan apa yang telah ia miliki, kemapanan yang mereka bangun atau telah mereka miliki, sehingga dengan hegemoni yang secara eksklusif kelas penguasa tersebut melestarikan dominasinya dengan mengamankan kelompok subordinat / kelas pekerja melalui penciptaan konsensus politik maupun ideologis. Gagasan kelas penguasa inilah yang menjadi gagasan yang berkuasa.

Tidak seperti kelas diatasnya, posisi untuk kelas pekerja terlihat sangat tidak menguntungkan sama sekali di sini, terutama ketika mereka harus menguras tenaganya demi mendapatkan upah dari kelas penguasa yang berperan sebagai majikan atas diri mereka. Perlu diingat sebelumnya, bahwa pekerjaan adalah sifat dasar dari manusia dan kini keadaannya akan berubah ketika pekerjaan tersebut adalah sebuah syarat untuk hidup dan tidak menjadikan pekerjaan tersebut sebagai perealisasian atas hakikat dirinya sebagai manusia. Sehingga muncul sikap - sikap dari para pekerja dalam menuntut sebuah kebebasan, menuntut jati dirinya dan jika terjadi kemenangan terhadap kelas perkerja atas para pengusa. Keadaan ini akan dianggap sebuah ancaman bagi para penguasa, sehingga desakan yang terjadi (dilakukan oleh para pekerja) akan menciptakan berbagai sikap offensive dari penguasa yang bertujuan tidak lain untuk mengutuhkan kewibawaannya atas dunia. Berbagai filsafat dan pameo dilahirkan dalam keadaan putus asa ini, seperti kita sering mendengar kalimat “dunia sudah gila” yang sebenarnya adalah versi lain dari kalimat “kelas kita sedang terancam”.

Dengan berbagai cara kelas penguasa ini mempertahankan dominasinya, seperti yang dibahas oleh Louis Althusser dengan dasar penjabaran Marx tentang Negara. Dalam pemikirannya tentang Repressive State Apparatus dan Ideological State Apparatus, kedua bentuk aparatus negara (State Apparatus) yang digunakan oleh para penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Walaupun yang dijabarkan Althusser ini berangkat dari sebuah konsep esensi negara menurut Marxis, namun kita dapat melihat hal ini sebagai cara dominasi dari kelas penguasa, karena pada faktanya kekuasaan Negara sendiri dipegang oleh kelas penguasa. Negara adalah alat dari kelas - kelas penguasa untuk menjamin kedudukan mereka, jadi untuk seperlunya menindas usaha kelas - kelas bawah dalam upaya membebaskan diri dari penghisapan oleh kelas - kelas atas.

Repressive State Apparatus, adalah sebuah bentuk aparatus yang diciptakan untuk melindungi dominasi penguasa dari kelompok subordinat yang mengancam keberadaannya dengan cara kekerasan / menekan (repressive) pada wewenang publik. Sebaliknya Ideological State Apparatus, memiliki pendekatan yang lebih halus dan tersembunyi dibanding Repressive State Apparatus, kehadirannya yang menggunakan pendekatan-pendekatan (melalui ruang-ruang privat) yang membentuk pikiran seseorang dengan menanamkan ideologi-ideologi yang dapat mengurung kelompok subordinat sehingga mereka akan menerima apa yang mereka anggap sebagai sebuah kenyataan / takdir / nasib. Fenomena pembentukan atau penanaman ideologi dominasi kelas penguasa terhadap kelas dibawahnya inilah yang menciptakan sebuah bentuk kesadaran baru, sebuah kesadaran palsu, kesadaran yang dibentuk oleh para penguasa, kesadaran yang hanya akan melestarikan perbedaan status kelas dan meyakinkan pada kelas - kelas lain bahwa kelas penguasa adalah berada pada posisi tertinggi dalam sebuah tatanan masyarakat.


C. MASALAH
Banyak orang bilang atau beranggapan bahwa media massa itu jahat, karena media massa itu mampu membentuk opini publik, begitupun dengan film, ia bisa menggiring pendapat orang, dan membentuk sikap objektifitas dari pendapat umum. Sebagai sebuah contoh sederhana adalah; sinetron dan telenovela yang telah dikritik karena dapat membuai masyarakat dari keseharian persoalan, demikian pula MTv yang memiliki peluang menentukan genre musik yang tren saat ini atau kapanpun. Televisi yang menampilkan hasil poling yang tak adil dikritik karena dapat mempengaruhi pasar pemilihan. Film yang mampu memberikan berbagai dampak dikarenakan kayanya muatan dari segi cerita dan segi teknis. Sebut saja film “G30S PKI” sebuah film yang dianggap memiliki unsur propagandis, sebagai sebuah upaya akan pelestarian dominasi suatu golongan. Bagi masyrakat awam, hal ini akan menjadi sebuah masalah, karena naratif dari film yang diputar secara ulang setahun sekali ini akan menciptakan sebuah persepsi baru tentang apa yang mereka lihat dalam film. Ini menjadi dasar teori kritis, teori yang muncul dari perubahan yang besar dalam pemikiran Marx.

Dalam kisah Titanic, sebuah kapal besar dengan panjang 268 meter, bertenaga uap asal Eropa yang karam akibat menabrak gunung es ketika akan menyeberangi lautan Atlantik pada tanggal 15 April 1912 dengan ribuan penumpang menuju daratan Amerika. 700 orang selamat dari 1500 penumpang dengan perhitungan dari keseluruhan korban penumpang, 45% berasal dari kelas III, 14% dari kelas II dan hanya 3% dari kelas pertama. Pembuatan Titanic menghabiskan dana sebanyak $ 7,500,000 yang dibiayai oleh seorang hartawan bernama J.P Morgan dengan designer bernama Thomas Andrew seseorang berkebangsaan Irlandia yang merancang konstruksi dari Titanic dengan waktu pembuatan selama kurang lebih tiga tahun, mulai dari dasar, tempat pembakaran untuk mesin uap, hingga beberapa tingkatan dek yang menjadi tempat para penumpang dengan berbagai kelas sosial (Website: www.titanic-facts.com).

Peristiwa ini kemudian difilmkan oleh James Cameron (sebagai salah seorang filmmaker ternama Hollywood) yang berperan sebagai sutradara dan mengangkat kembali tragedi April 1912 tersebut yang dibalut oleh drama percintaan sepasang kekasih yang berada dalam posisi kelas yang berbeda. Dengan seorang tokoh bernama Rose sebagai saksi hidup yang mengantarkan penonton kembali pada masa itu dengan judul yang sama dengan nama kapal tersebut, “Titanic”.

Mungkin film ini diangkat berdasarkan sebuah kisah nyata, namun tetap saja tidak menutup kemungkinan bahwa dari fakta ini adalah aktual, jika diteliti lebih jauh, maka dapat diketahui bahwa banyak fakta yang terdistorsi atau malah sengaja didistorsikan oleh sang pembuat, jika memang terdistorsi, maka kita akan melihatnya sebagai kekurangan dari sang filmmaker terhadap film yang ia buat, namun jika sang filmmaker ternyata dengan sengaja membuat film ini sebagai rangkaian fakta yang dikombinasikan dengan pemikiran - pemikirannya, maka dapat dikatakan terdapat sebuah unsur penipuan atau lebih parah lagi jika filmmaker memiliki tujuan yang mengacu pada pelestarian dominasi suatu golongan atau kelas yang telah dibahas jauh sebelumnya oleh Marx, atau malah semua ini hanya sebuah faktor kebetulan yang tidak dapat dihindari, tapi mengapa hingga muncul sebuah review dari “National Public Radio ” yang mengatakan bahwa "parts of this film could have been scripted by Karl Marx?" Apakah mungkin benar ada campur tangan dari Dogma Marx dalam film ini? Apakah James Cameron menganggap bencana Titanic ini adalah sebuah metafora atas dunia kapitalis sekarang? Atau sang filmmaker hanya berusaha untuk memenuhi syarat-syarat dalam pembuatan film yang diangkat dari kisah nyata tersebut?

D. METODE ANALISA
Permasalahan yang dihadapi dalam film “Titanic” disini adalah konflik kelas yang terjadi dengan balutan drama Hollywood klasik, sebuah drama percintaan layaknya kisah dalam sebuah tragedi Romeo dan Juliet karya William Shakespeare, yang menceritakan sepasang kekasih terhalang karena kedua keluarga mereka saling bermusuhan, percintaan yang dilandasi berbagai perbedaan. Dalam kasus film “Titanic” perbedaan yang menghalangi sepasang kekasih ini adalah kelas sosial mereka yang berbeda. Selain itu, terdapat juga penyimpangan pada penyampaian berbagai fakta dalam film. Sebuah fakta yang direkonstruksi yang kemudian menghasilkan persepsi baru bagi penonton.
Untuk mengetahui atau bahkan meyakinkan kita apakah memang benar elemen-elemen dalam film ini mengandung unsur Dogma Marxis seperti yang telah dikatakan sebelumnya, maka diperlukan penganalisaan yang lebih mendetail pada berbagai elemen yang ada, guna pembuktian yang lebih beralasan.

Mungkin secara selintas film ini terlihat memiliki struktur naratif yang akan sedikit membingungkan bagi penontonnya, namun apabila dapat ditilik lebih lanjut ternyata dari keseluruhan film secara utuh tetap saja memberikan dampak terhadap dramatik cerita (dramatic impact). Dari naratif cerita yang berkembang, maka dapat diketahui sebenarnya film ini menggunakan sudut pandang siapa, siapa tokoh yang paling berpengaruh atau menjadi protagonis atau pahlawan dari keseluruhan cerita, kemudian siapa yang berperan sebagai antagonisnya yang senantiasa berusaha untuk menggagalkan usaha sang pahlawan.

Naratif dalam sebuah film tidak akan berarti apapun tanpa adanya dukungan dari stylistic system . Berbagai macam unsur-unsur tersebut tentu saja saling terkait satu dengan yang lain. Antara naratif dan style tidak dapat dipisahkan begitu saja karena keberadaan style dapat mendukung fungsi dari naratif film itu sendiri atau dengan kata lain style memobilisasi naratif cerita. Tanpa style, film tidak akan menjadi “film” karena jika naratif berdiri sendiri yang ada adalah sandiwara radio atau teater. Elemen style dalam film “Titanic” juga turut mendukung cerita yang mengalir di dalamnya, baik itu dari segi mise en scene, seperti kostum yang dikenakan, setting (ruang dan waktu) dalam cerita yang dibagi menjadi dua periode serta elemen teknis Cinematography, sound dan editing yang turut mendukung cerita. Begitupun yang terjadi pada tokoh - tokoh dalam cerita yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengidentifikasikan status serta menguatkan karakter mereka.


II. ISI

A. KONFLIK KELAS

Sekilas latar belakang Karl Marx, seorang yahudi yang dilahirkan di kota Trier, Jerman Barat, 5 Mei 1818. Tumbuh dengan dasar – dasar pemikiran G.W.F. Hegel di masa revolusi besar yang terjadi di beberapa negara besar Eropa, seperti Revolusi Politik di Prancis dan Revolusi Industri di Inggris. Runtutan revolusi - revolusi yang menyebabkan semakin tajamnya perbedaan dan hubungan antara kelas - kelas sosial, penindasan terhadap para pekerja dan masyarakat miskin, karena semakin kuatnya dominasi para penguasa (dalam hal ini borjuis) dalam mengontrol ekonomi, sehingga dengan pemikiran - pemikirannya Marx berusaha untuk menyelamatkan kaum yang tertindas dengan berbagai kritik sosial dan gerakan perjuangan kaum miskin, mendambakan sebuah revolusi, penggulingan terhadap borjuisasi panghapusan hak milik pribadi sehingga tercipta sebuah masyarakat sosialis sebuah keadaan dimana tidak adanya kelas, penghapusan terhadap pemilikan pribadi (kepemilikan alat produksi).

Dalam “Titanic” dapat dilihat sebuah metafora dunia kapitalis yang dibuat Cameron menunjukan sebuah konflik kelas yang syarat dengan usaha para kelas penguasa dalam mempertahankan dominasinya yang terjadi di abad ke 19 sebagai dampak dari pasca Revolusi Prancis pada tahun 1789. Sebuah miniatur dari ramalan para pemikir sosial - modern yang menjadi kenyataan ketika munculnya sebuah revolusi besar - besaran yang terjadi di dunia Barat, dimana pekerjaan / keterampilan seseorang digantikan oleh mesin-mesin industri guna menghasilkan laba yang lebih banyak. Disamping itu, para individu yang mulai tergantikan posisinya oleh mesin-mesin terpaksa bekerja dengan perasaan terpaksa, mengharapkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Layaknya dalam film “Titanic”, sebuah kapal laut yang cantik sehingga mendapat julukan The Ship of Dreams, sebuah sistem yang baru, sistem Kapitalisme dunia Barat yang menjanjikan segala pewujudan atas berbagai mimpi indah bagi masyarakatnya, mengajak mereka merayakan kebebasan atas belenggu feodalisme yang menggunakan selubung-selubung suci dalam menutupi eksploitasi yang dilakukan oleh para kelas atas feodal terhadap kelas – kelas dibawahnya. Walaupun sistem baru ini tidak lebih baik dari feodalisme, setidaknya kapitalisme lebih jujur terbuka terhadap dominasi kelas, secara telanjang memperlihatkan jelas kelas – kelas yang mengeksploitasi dan kelas – kelas yang dieksploitasi. Namun masyarakat borjuis modern (kapitalis) yang muncul dari keruntuhan masyarakat feodal tidak menyingkirkan antagonisme kelas itu. Malah ia memunculkan kelas-kelas baru, dengan kondisi baru untuk melakukan tekanan, bentuk - bentuk baru persaingan dengan menggantikan yang lama.

Kelas penguasa menempatkan negeri di tangan penguasa kota. Ia telah menciptakan kota - kota besar, telah banyak menambah penduduk kota dibanding penduduk pedesaan dan dengan demikian menyelamatkan sebagian besar penduduk dari kehidupan desa yang bodoh. Persis seperti yang berlaku bagi sesuatu negeri dengan ketergantungan pada kota, borjuis itu telah pula membuat negeri - negeri barbar dan semi barbar bergantung pada negeri yang lebih beradab, para pekerja yang bergantung pada kaum kapitalis yang memiliki lapangan pekerjaan dengan menjual tenaga kerjanya.

Sebuah kapal mewah yang akan selalu berada di permukaan, bahkan lebih atas lagi jika keseimbangan terhadap infrastruktur tetap terjaga. Namun pada kenyataannya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam masyarakat kapitalis terdapat dua kelas yang saling beroposisi, antara penguasa dan yang dikuasai, bukan karena perasaan iri yang muncul dalam kelas pekerja terhadap penguasa ataupun tindakan egois dari para penguasa, melainkan perbedaan kepentingan yang objektif antara masing-masing kelas dalam sebuah struktural ekonomi yang memaksa mereka berhadapan dengan beragam konflik. Karena hukum paling mendasar kapitalisme adalah persaingan, hingga memaksa pemodal (kelas penguasa) untuk meningkatkan produktivitas produksi terus menerus yang menyebabkan penekanan terhadap biaya produksi, sehingga hasil produksi dapat dijual semurah mungkin namun meraih keuntungan berlipat – lipat dan dengan demikian kemenangan akan diraih dari sebuah persaingan. Dalam situasi ini maka kelas – kelas yang berada di bawahlah yang mendapat posisi merugi, penghisapan tenaga kerja, pengeksploitasian kemampuan yang tidak seimbang dengan semakin kecilnya jumlah upah yang mereka terima, demi membela sang penguasa memenangkan persaingan dengan penguasa lainnya.

Dengan sudut pandang gagasan filsafat dialektika dari Hegel yang intisarinya adalah menekankan betapa pentingnya proses hubungan kontradiksi (konflik atau benturan) dalam menciptakan sebuah kemajuan / perkembangan dunia, karena menurutnya dunia dengan sudut pandang ini adalah tidak diciptakan oleh struktur yang statis, melainkan dengan proses hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi. Secara lantang Marx pun menyetujui gagasan Hegel dengan menentang segala usaha dalam mendamaikan revolusi yang akan dilakukan oleh para kelas pekerja. Sehingga dalam dunia, baik itu dunia kapitalis, kontradiksi atau konflik - konflik tersebut tidak dapat dihindari, layaknya ia menjelaskan tentang tesis yang akan dibantah oleh anti tesis yang kemudian menghasilkan sintesis, namun sintesis ini akan berubah menjadi sebuah tesis baru yang akan dibantah oleh anti tesis baru pula. Bila proses tadi yang diambil sebagai tesis, dan mulai dengan tingkat feodalisme (jadi ini merupakan tesis). Anti tesisnya adalah tingkat produksi Borjuis atau Kapitalisme, sintesisnya nanti adalah tingkat produksi Sosialisme, hingga Sosialisme akan berubah menjadi sebuah tesis baru dan berhadapan dengan anti tesis baru lagi. Sehingga tercipta sebuah rantai pembaharuan yang tidak berujung, saling mengikat satu sama lain.

Meskipun tulisan ini bukanlah merupakan sebuah tulisan mengenai analisa struktur naratif namun yang disebut naratif cerita tidak akan dapat dilepaskan dalam sebuah analisa film begitu saja. Karena latar belakang cerita yang menjadi pijakan awal akan dapat digunakan untuk membantu dalam mencari relevansi style yang dipakai untuk membentuk rangkaian makna yang tersembunyi dibaliknya. Sehingga setiap elemen yang ada tidak berdiri sendiri tanpa makna yang jelas karena ada keterkaitan antara naratif cerita dengan style yang ada. Begitu pula dengan film “Titanic” ini, tentunya analisa ini akan sedikit mengabaikan aspek - aspek pencapaian teknis di dalamnya.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa film ini terbagi atas dua periode. Dalam film, karena Titanic diceritakan melalui sudut pandang Rose tua sebagai saksi hidup dari tragedi tersebut yang menjadikan subjektifitas sudut pandangnya diobjektifikasikan oleh penonton, sehingga filmmaker mengajak penonton untuk dapat melihat film tersebut menggunakan kacamata orang yang tengah hidup dijaman Kapitalisme tersebut.

Dalam film ini diceritakan seorang penumpang yang berasal dari kelas III, yang berisi para imigran yang mayoritas berkebangsaan Irlandia, Finlandia, Swedia dan Belgia. Jack Dawson (Leonardo DiCaprio), seorang pemuda berkebangsaan Amerika menjadi tokoh utama disini, berasal dari kelas pekerja yang mencintai seorang gadis yang berasal dari kelas penguasa, Rose DeWitt (Kate Winslet) yang berada di kelas I kapal tersebut, walaupun pada dasarnya posisi Rose dalam film ini pun bukan murni sebagai kelas penguasa, dikarenakan ayahnya yang berperan sebagai pemodal telah meninggal. Oleh karena itu Ibunya berusaha melestarikan / mempertahankan posisi dominasi yang ia dapat dari sang suami, adalah dengan cara menikahkan anaknya (Rose) dengan Karl, seorang pengusaha muda yang kaya, sehingga pada akhirnya timbul konflik antara Jack dengan Karl dalam memperebutkan hati Rose. Sebagai pemicu awal dari berbagai konflik yang muncul dalam film ini yang nantinya akan berujung dengan implisit sebagai sebuah konflik kelas.

Perbandingan antar kelas sosial dijelaskan dengan berbagai cara dalam film, seperti pada bagian dimana para penumpang kelas III Titanic yang harus melewati memperlihatkan pemeriksaan kesehatan hingga pemeriksaan kutu sebelum menaiki kapal, sedangkan para penumpang kelas I diperbolehkan membawa serta anjing-anjing mereka yang nantinya akan di tempatkan di dek tempat kelas III berada.

Sebagai film yang menggunakan Struktur Hollywood Klasik , “Titanic” memiliki tokoh antagonis dan protagonis yang saling berhadapan. Setiap tokoh baik itu protagonis ataupun antagonis dalam film ini dapat dikatakan kesemuanya memang memiliki goal, need dan desire yang jelas antara pihak atau golongan satu dengan yang lain. Protagonis dalam cerita film diwakili oleh Jack, dimana filmmaker menciptakan tokoh ini dengan efek simpati yang muncul pada penonton terhadap seorang penumpang kelas III yang telah menyelamatkan Rose. Jack memiliki tujuan dalam merebut hati Rose. Untuk dapat mewujudkan segala goal, need dan desire ini, Jack melakukan serangkaian usaha dan aksi yang kiranya mampu untuk mewujudkan tujuan. Sebagai salah satu usaha yang dapat mereka lakukan adalah dengan cara menyelamatkan Rose ketika hendak bunuh diri. Membuai Rose dengan dunia lain diluar kapitalisme yang telah membuat Rose merasa muak, dan Jack juga membuatkan lukisan untuk Rose.

Sedangkan tokoh antagonis diambil alih oleh Karl yang juga berperan sebagai salah satu dari kelas penguasa, yang berusaha mempertahankan Rose sebagai tunangannya dari tangan Jack, yang kemudian memunculkan tindakan-tindakan antagonis yang ia perbuat sepanjang film berlangsung, mulai dari bagaimana ia menunjukan betapa uang dapat menyelesaikan segalanya (sebagai salah satu ciri kapitalis yang menjadikan infrastruktur sebagai dasar dari segalanya dalam sebuah produksi), hingga menembaki pasangan tersebut sebagai usahanya dalam memisahkan Rose dengan Jack. Pemilihan antagonis dan protagonis ini menyimpulkan sebuah pandangan dimana kaum kapitalis / kelas penguasa adalah seorang yang memiliki konotasi buruk / jahat. Sehingga penonton akan bersimpati pada kaum proletar / kelas pekerja dan ekspektasi penonton terhadap kemenangan akan dirinya (Jack) dalam mengalahkan sang penguasa yang jahat (Karl).

Mendekati akhir cerita diperlihatkan lagi sebuah penindasan terhadap kelas pekerja ketika kapal mengalami kebocoran, para pekerja yang berada di ruang mesin di kunci begitu saja demi menahan air yang mulai masuk ke badan kapal. Cara Marx memandang betapa pentingnya segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Sehingga para pekerja yang dikorbankan di sini adalah demi menyelamatkan penumpang lainnya, demi kepentingan umum. Namun dalam adegan ini, kejadian tersebut akan terlihat sangat tidak manusiawi bagi penonton.

Begitupun ketika evakuasi berlangsung, dengan kacamata Althusser, para nahkoda / pekerja kapal memiliki peran dalam melayani penumpang kelas I, namun secara implisit para nahkoda tersebut berperan sebagai Repressive State Apparatus (RSA) sebagai instansi yang mengamankan dominasi kelas penguasa dari campur tangan kelas - kelas dibawahnya. Terjadi bentuk ketidakadilan bagi kelas pekerja yang menjadi penumpang di kelas III. Para nahkoda mengatur penumpang untuk kemudian dievakuasi berdasarkan kelas, wanita dan anak - anak dari kelas I didahulukan untuk mengambil tempat di sekoci penyelamat. Sedangkan penumpang kelas III dikurung dengan paksa oleh beberapa nahkoda dalam dek mereka yang hanya akan dibuka ketika para penumpang kelas I sudah berhasil dievakuasi. Begitupun para pemain musik yang keluar dari dining room dan mulai memainkan musiknya ditengah kepanikan para penumpang atas perintah kapten kapal guna menenangkan situasi.

Dalam segmen evakuasi ini terdapat pula sisipan ideological State Apparatus (ISA) pada adegan seorang ibu yang mengatakan pada anak – anaknya “when the first class people are in the boat, they will start with us”. Sebuah kalimat perwujudan dari Ideological State Apparatus yang bergerak melalui ruang privat dalam hal ini adalah keluarga. Ideological State Apparatus yang telah berkembang dan tertanam pada sang ibu yang kemudian secara otomatis akan diturunkan pada anak – anaknya.

Pada akhir cerita Rose diselamatkan oleh sebuah sekoci yang berisi para nahkoda yang kembali setelah mengatur sekoci sehingga dapat memuat lebih banyak penumpang. Penyelamatan yang menggambarkan kemerosotan kelas peralihan menuju proletariat, sehingga menciptakan kesadaran akan situasi, akan penderitaan yang mereka alami dan pada akhirnya perbedaan antara mereka pun menghilang. Sebuah hubungan manusia sebagai mahluk sosial, tanpa melihat kelas maupun status lainnya, sebuah tindakan / sikap yang menjadi salah satu ciri dari masyarakat sosialis.

Serangkaian adegan dalam cerita yang memuat berbagai Dogma Marxis ini mungkin akan sulit diterima oleh para penonton jika Cameron tidak menggunakan keseimbangan cerita yang terdapat dalam Struktur Hollywood Klasik, kesimbangan cerita yang membuat film ini mudah dicerna secara textual. Sehingga ia tidak akan kehilangan penonton dikarenakan muatan film yang terlalu berat.

Dalam scene awal film penonton akan melihat rangkaian gambar dengan kesan jadul (jaman dahulu) yang memiliki kesan dokumentris, ribuan orang yang berdiri disamping dermaga melambaikan tangan tanda perpisahan kepada kerabat mereka yang akan menempuh perjalanan dengan kapal Titanic menuju Amerika. Adegan tersebut beralih menjadi gambar (shot) permukaan laut dimalam hari, kemudian muncul judul Titanic yang mengantarkan penonton menuju ke kedalaman laut untuk melihat sekelompok peneliti bangkai Titanic. Segment ini seakan mengajak penonton mengenang kejadian pada masa tersebut, kembali melihat pada sejarah dimana terjadinya sebuah Revolusi Industri di dunia Barat pada abad ke 19 yang kemudian melahirkan berbagai pertentangan / konflik salah satunya konflik antar kelas yang juga menjadi salah satu latar belakang dari film ini.

Setelah mengulas cerita, untuk dapat memahami secara lebih jelas bagaimana film bekerja menyampaikan pesannya diperlukan juga adanya penganalisaan terhadap berbagai macam elemen style pembentuknya. Style merupakan salah satu bentuk dari film form (selain dari formal system) yang terdiri dari unsur - unsur teknis yang membentuk film (David Bordwell and Kristin Thompson : 1997). Untuk lebih mudahnya kita dapat mengatakan bahwa style memberikan karakteristik teknis yang khas dalam film.
Salah satunya adalah penggunaan mise en scene penting dalam film, karena elemen ini sangat banyak tersebar setiap scene. Ada beberapa elemen mise en scene yang sekiranya dinilai cukup menonjol dalam film. Salah satu diantaranya adalah ruangan-ruangan dalam dek yang memberikan kesan berbeda dalam tiap – tiap kelas. Beragam penumpang dengan kelas sosial yang berbeda ditempatkan pada dek yang berbeda pula dalam Titanic. Kita dapat melihat perbedaan kabin antara kamar Rose dengan kamar Jack. Kamar Rose yang memiliki berbagai fasilitas dengan dekorasi yang sangat mewah (luxurious), terdapat meja rias, kamar mandi dengan bath tub, sofa dan berbagai perabotan mewah lainnya. Sedangkan pada kabin kelas III yang menjadi kamar Jack hanya berupa sebuah ruangan kecil, di dalamnya hanya terdapat dua buah ranjang tingkat, sebuah ruangan yang berkapasitas empat orang penumpang.

Kostum sebagai salah satu elemen dari style dalam “Titanic” juga berperan dalam mengidentifikasikan tokoh dan karakter, sebagai pembeda antara kelas penguasa dengan kelas pekerja. Penonton dapat melihat dari beberapa scene, kelas penguasa menggunakan pakaian berjenis Tuxedo bagi pria dan Gaun / Gown bagi para wanitanya. Pakaian yang dikonsomasi sehingga memiliki fungsi lain dari fungsi asli / utamanya. Pakaian yang berfungsi untuk menunjukan status sosial mereka.

Bahkan gaya hidup yang terlihat kontras dalam dinner scene kelas I dengan scene pesta para pekerja. Sosialisasi yang kaku antar penumpang terlihat di kelas I dengan berbagai formalitas konvensional yang membosankan. Sebenarnya masih banyak mise en scene dalam film ini yang belum disebutkan, namun berhubung secara umum tidak ada yang terlalu menonjol untuk dikaitkan dengan pesan-pesan ideologi yang ingin disampaikan, maka sebaiknya kita melihat elemen style lainnya.

Dalam elemen style berupa Cinematography, yang secara konsisten dari awal hingga akhir film dalam mendeskripsikan keindahan dan betapa mewahnya Titanic dengan gerak kamera yang halus dan anggun, serta penggunaan wide shot yang memperjelas ukuran dari Titanic tersebut. Membuai penonton untuk melupakan sejenak sejarah bahwa kapal tersebut akan karam, menyamakan persepsi penonton dengan para penumpang yang terkagum-kagum ketika pertama kali melihat Titanic. Begitupun yang dialami oleh masyarakat kapitalis yang melihat Kapitalisme sebagai sesuatu yang indah yang telah membebaskan mereka dari belenggu – belenggu feodal. Namun ketika kapal ulai mengalami masalah, maka elemen ini pun mengikuti irama kepanikan para penumpang dengan gerak yang lebih dinamis dengan type of shot yang lebih banyak berjenis close up dengan mengejar ekspresi – ekspresi para penumpang yang telah sadar akan keadaan dari Kapitalisme yang sebelumnya mereka anggap unsinkable.

Untuk elemen Sound, unsur dialog dan efek hanya memenuhi kebutuhan realita dari cerita berdasarkan lokasi kejadian sebuah aksi, tidak ada sangkut pautnya dengan pesan – pesan ideologi yang ingin disampaikan. Sedangkan unsur musik dalam ilustrasi (scoring) hanya menambahkan dramatisasi cerita yang bersifat fungsional berdasarkan mood adegan. Lain halnya dengan musik realitas yang terdapat dalam cerita, musik pendukung realita ini terdapat dalam dua scene yang berdekatan sehingga menjadi sebuah perbandingan, pertama dalam ruang makan kelas I terdapat musik berjenis klasik yang bersifat elegan, sedangkan yang kedua, pada kelas III musik yang dimainkan adalah jenis musik folk (musik rakyat, music with no known composer) dengan irama yang riang dan ceria, seakan membuat pendengarnya ingin menari, seolah musik menjadi pelarian ketika mereka telah lelah bekerja.

Kemudian elemen terakhir yang digunakan dalam menggabungkan shot – shot dalam keseluruhan cerita, editing. Tidak berbeda jauh dengan Cinematography yang menggambarkan perbedaan dan transisi ketika pertama penumpang melihat Titanic hingga pada akhirnya mereka menyadari bahwa kapal tersebut akan tenggelam. Hanya saja dalam dimensi ritmis, elemen ini bergerak lebih dinamis ketika kapal akan tenggelam.

Sebuah tindakan bentuk pembaharuan terhadap sebuah sistem yang dianggap akan mengantarkan umat manusia pada kesejahteraan hidup dengan mata yang telah dibukakan dari Feodalisme, namun sayangnya harapan dan impian terhadap dunia kapitalisme ini pun berujung tragis, tindakan pengeksploitasian, penghisapan dan penindasan yang semakin berani menunjukan wujudnya dan melakukannya tanpa rasa malu sedikitpun.


III. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dengan berbagai analisa diatas, sekarang kita dapat melihat film “Titanic” sebagai sebuah kapal yang menjadi miniatur dari Kapitalisme Eropa sebagai suatu sistem eksploitasi dan dominasi. Dimana para penguasa (kelas kapitalis) mempertahankan status mereka dengan meredam bahkan menenggelamkan sikap revolusioner kelas pekerja yang mengharapkan suatu perubahan. Namun metafor ini menunjukan kegagalan dari sebuah sistem hasil pembaharuan dari feodalisme. Secara sederhana kita dapat menyimpulkan dengan dorongan tidak pernah puasanya kaum kapitalis dalam mengejar laba, selalu menginginkan keuntungan yang lebih dengan berspekulasi kemudian mempercepat laju kapal tanpa melihat pangsa pasar hingga menabrak pasar besar dan mengalami kehancuran.

Dalam “Titanic”, filmmaker berusaha menanamkan atau hanya menguatkan sebuah pandangan pada penonton terhadap Kapitalisme, dimana Kapitalisme adalah sebuah sistem yang memiliki dampak buruk terhadap tatanan sosial masyarakat, baik dominasi suatu golongan tertentu yang akan melahirkan kesenjangan sosial, pada akhirnya hanya menciptakan konflik - konflik yang hanya akan merugikan banyak orang dan golongan.

Berbagai pemikiran Marx terbukti memang terdapat dalam “Titanic”, namun untuk menjawab pertanyaan dari National Public Radio, adalah jika Marx yang menulis skenario film ini, maka akhir cerita tidak akan seperti itu, tetapi para kelas pekerja akan bersatu dengan kelas bawah lainnya yang tertindas untuk memegang kendali kapal dan mengatur evakuasi, mengatur pembagian sekoci penyelamat, wujud dari class struggle, bukan mendahulukan kelas penguasa yang seharusnya bertanggung jawab atas kehancuran kapal.










B. DAFTAR PUSTAKA
- David Bordwell and Kristin Thompson. Film Art An Introduction. 5th ed. The McGraw-Hill. New York : 1997.
- Dr. Darsono P. SE.,SF.,MA.,MM. Karl Marx, Ekonomi Politik dan Aksi Revolusi. Diadit Media. Jakarta : 2007.
- Franz Magniz Suseno. Pemikiran Karl Marx. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta : 1999.
- George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi. Kreasi Wacana. Yogyakarta : 2008.
- John M. Echlos dan Hassan Shadily. Kamus Inggris - Indonesia. PT. Gramedia. Jakarta : 1995
- Louis Althusser. Tentang Ideologi. Jalasutra. Yogyakarta : 2004.

The Eclectic Esenstein

Sebagai seorang filmmaker dan teoritis dimana teori-teorinya yang sangat kaya dan kuat sehingga sulit untuk disimpulkan, sedangkan teori yang dibuat berawal dari intuisinya. Sehingga teorinya terkadang menganggap film sebagai mesin atau sebagai organik, bahkan lebih tinggi lagi sebagai mistik. Seperti, pertama, konsep sebuah shot adalah materi dasar yang membentuk film hingga film memiliki (attraction) sebuah konsep yang komplek bagi pikiran dan memancing reaksi pada spectator, bukan hanya sekedar tontonan. Kedua, montage yang memberikan kesan dramatik pada spectator.

Kesadaran Eisenstein akan sebuah partikel untuk terlepas dari realita sehingga menjadikan objeknya sebagai seni (konsep ini disebutnya dengan neutralization), membuatnya ingin membuat shot terpisah dari realita, sehingga film memiliki status seni yang otonom. Dalam Teater Kabuki Eisenstein menemukan gaya yang melebihi realita, bahkan melenceng. Cerita yang disampaikan dalam kabuki adalah berbentuk satu-kesatuan antara gestur, musik dan lain-lain. Hal ini diterapkan Eisenstein pada film dengan mengkombinasikan seluruh elemen dalam film yang bertujuan agar spectator mendapatkan impresi psikologi yang tepat. Ini yang membuat filmmaker memiliki kemampuan attraction.

Dan pengembangan teori montage nya dengan menggunakan metode yang sama dengan puisi Jepang, Haiku, hanya saja bebeda materialnya. Haiku menggunakan kata-kata, sedangkan montage menggunakan shot yang di dalamnya terdapat berbagai elemen yang dapat menimbulkan konflik ketika shot dihubungkan. Hasil dari konflik itulah yang akan menimbulkan arti baru bagi spectator. Begitu pun hubungannya dengan para psikolog, terutama Jean Piaget yang membantunya dalam menemukan ide tentang ego centrism, primary felt symbol, montage thingking dan inner speech yang semakin memperkaya dan memperkuat teorinya. Namun perkembangan teknologi membenturkannya dengan suara, warna bahkan 3-D yang membuat film semakin sulit lepas dari realita. Untuk suara dan warna, Eisenstein masih dapat mengadaptasikan teorinya, dengan mengembangkan cara penggunaannya sehingga memiliki interaksi dengan elemen lainnya dalam film. Sedangkan untuk 3-D Eisenstein memberi pengecualian, karena untuknya itu adalah sebuah pelanggaran.

Dengan teori-teorinya Eisenstein menyarankan filmmaker bekerja layaknya seorang komposer mengaransemen banyak nada secara sensitif yang berasal dari getaran sehingga sekumpulan nada tersebut dapat diterima dengan terorganisir dan menciptakan impresi akhir, perasaan akan totalitas, keutuhan.
Eisenstein percaya bahwa proses kerja seni adalah sebuah mekanika mesin yang ditemukan untuk memecahkan masalah yang telah ada sebelumnya dan itu didesain sebelum diciptakan. Sama halnya dengan mesin yang membutuhkan bahan baku (attraction) yang memberi energi untuk bergerak secara teratur (montage), mengembangkan arti dramatik dengan utuh dan terkontrol (cerita, tone, karakter dan lainnya), hingga tujuan akhir (ide akhir atau tema).

Selain itu Eisenstein juga percaya bahwa kerja seni seperti organisme yang selalu akan beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitar tanpa kehilangan jati dirinya, dan yang membuatnya tetap bertahan seperti adanya adalah tema. Sehingga baginya tugas seorang filmmaker atau seniman adalah memahami kebenaran bentuk atas kejadian atau fenomena alamiah kemudian memanfaatkan bentuk tersebut sebagai sebuah kerja seni.

*****

Film terbentuk dari sebuah partikel terkecil (shot) yang memiliki kekuatan dalam mempengaruhi penonton, serta penggabungan shot yang mengakibatkan konfilk yang menghasilkan interpretasi tersendiri bagi penonton.

Remaping World Cinema in a Post-World Order

I. PENDAHULUAN

A. PENGANTAR
Sebuah ulasan mengenai World Cinema yang dibahas oleh Dudley Andrew, Lucia Nagib dan Michael Chanan yang tergabung dalam sebuah buku-rangkuman yang berjudul “Remapping World Cinema”. Dalam bahasan yang dibagi dalam tiga chapter (bagian) ini mereka mencoba mengurai istilah World Cinema.
Namun penulis akan mencoba membahas masalah ini secara implisit dan lebih dalam lagi, mengenai perlombaan yang dilakukan berbagai negara dalam memproduksi dan mengeksebisi filmnya hingga keberbagai negara asing. Seakan tercium sebuah pencapaian hingga pelestarian terhadap dominasi suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lain.

B. LATAR BELAKANG
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa setiap individu ingin menunjukan ekistensinya dalam kehidupan yang bersifat sosial ini. Hingga muncul sebuah kekuatan yang bernama Negara dengan peranannya sebagai perangkat yang mengatasi dan menyatukan egoisme dari semua individu . Karena ke-egoisme-an para individu tersebut telah ditahan oleh Negara, maka mereka menciptakan kepentingan bersama bersifat objektif untuk negaranya, namun pada akhirnya subjektif bagi negara lain, hingga kini dapat dikatakan bahwa Negara memiliki kepentingan yang tidak berbeda dengan individu-individu didalamnya (masyarakat), yakni mewujudkan eksistensinya di dunia. Sebuah fenomena yang pada akhirnya menyebabkan perpecahan berbagai konflik baik dalam negara itu sendiri maupun dengan negara lainnya.

C. MASALAH
Tidak sedikit orang beranggapan bahwa media massa itu jahat, karena kemampuannya dalam membentuk opini publik, begitupun dengan film, ia dapat menggiring pendapat orang (penontonnya), dan membentuk sikap objektifitas dari pendapat umum. Sebagai sebuah contoh sederhana adalah; sinetron dan telenovela yang telah dikritik karena dapat membuai masyarakat dari keseharian persoalan, demikian pula MTv yang memiliki peluang menentukan genre musik yang tren saat ini atau kapanpun. Televisi yang menampilkan hasil poling yang tak adil dikritik karena dapat mempengaruhi pasar pemilihan. Film yang mampu memberikan berbagai dampak dikarenakan kayanya muatan dari segi cerita dan segi teknis. Hanya sebagai contoh saja, film “G.30.S PKI” sebuah film yang dianggap memiliki unsur propagandis yang kemudian menciptakan sebuah persepsi baru tentang apa yang mereka lihat dalam film. Hingga pada akhirnya muncul pertanyaan, apakah sinema (film) memiliki kandungan yang menyerupai dengan apa yang telah dikonsepsikan oleh Lois Althuser dalam Ideological State Aparatus ?.


II. ISI

A. An Atlas of World Cinema
Dudley Andrew mengurai sinema dengan analogi atlas, menampilkan perbedaan aspek, elemen dan dimensi dalam berbagai wilayah. Melalui wilayah historikal hingga infrastruktur sinema terbagi berdasarkan asalnya. Dominasi sebuah negara hingga negara lain mendapat posisi subordinat dalam sinema yang kemudian mempengaruhi produksi dan eksebisi film masing-masing.
Dalam chapter ini Andrew memperlihatkan sebuah hubungan bersifat oposional terjadi dalam perkembangan sinema dikarenakan telah tercipta dikotomi didalamnya, pertama kelompok dominan seperti Hollywood yang mendapatkan posisinya dari warisan pasca kolonialisme dan pasca moderisme dunia barat. Kedua adalah kelompok subordinat yang menyimpang dari sistem Hollywood, posisi subordinat ini ditempati oleh berbagai belahan negara lainnya seperti Prancis, daratan Inggris, Jepang, Brazil dan negara-negara yaang tergabung dalam dalam dunia ketiga lainnya.
Studio-studio besar yang memproduksi berbagai film dengan aturan-aturan yang sudah ada dengan tujuan komersialitas dan memonopoli pasar yang menjadi misi utama sebuah industri. Sebagai titik episentrum perfilman dunia, baik disadari maupun tidak Hollywood telah membentuk selera massa dengan budaya populernya (mainstream), menghilangkan jati diri mereka, menjauhkannya dari identitas aslinya, terutama World Cinema sebagai kelompok yang menjadi subordinat karena perbedaannya dalam penggarapan produksi dan tematik penceritaan sebuah film.
Namun kekurangan ini memberikan posisi tersendiri bagi produksi-produksi selain Hollywood dalam bergerak dan berkembang, mereka bersimbiosis dengan kelompok dominan, menjadikannya sebagai pembanding (tetapi bukan sebagai tolok ukur), kemudian melahirkan festival-festival sebagai wadah bahkan tempat bersaing berbagai negara dalam mendapat pengakuan akan jati dirinya dimata negara lain. Festival-festival yang diselenggarakan dengan pengklasifikasian non-komersial film. Film-film yang diikutsertakan adalah film-film yang mengangkat isu-isu yang tengah berkembang dan mencirikan identitas negaranya masing-masing.
Dengan segala cara bagi sebuah negara dalam mendapatkan pengakuan dari negara lain, dengan film-seperti yang dibahas sebelumnya, berbagai negara telah menyadari dan mengakui kehadiran Hollywood sebagai industri film terkuat, hingga posisi tersebut menciptakan persepsi yang serupa untuk negaranya, Amerika. Kekuatan yang hadir didukung pula oleh pemahaman Hollywood terhadap segi linguistik, pemanfaatan bahasa-visual-sederhana yang terkandung dalam film, maupun bahasa verbal mereka telah menjadi bahasa universal yang memudahkan Hollywood mendapat perhatian lebih dari penonton diberbagai negara.
Adapun pilihan dari negara itu sendiri dalam memberikan kebijakan yang menentukan kemana arah dari sinema mereka, contohnya seperti Prancis, walaupun telah memiliki peran sebagai negara yang melahirkan film tergeser posisinya oleh Hollywood, dikarenakan kebijakan dari pemerintah Prancis dalam menjadikan sinema Prancis sebagai tradisi nasional, menjadikannya sebagai sebuah karya seni, sebagaimana seni telah melekat dan menguatkan identitasnya.

B. Towards a Positive Definition of World Cinema
Sinema Amerika, sinema Hollywood klasik pada khususnya, telah memberikan kontribusinya kepada perkembangan sinema seluruh dunia, namun sebagaimana yang telah disebut oleh Andrew, Luicia pun menyatakan bahwa Sinema Amerika (Hollywood) telah menempati posisi istimewa sejak berakhirnya Perang Dunia I. Sebuah era yang mengarahkan World Cinema berartikulasi dengan persepsi budaya yang lebih luas. Lagi pula posisi tersebut sulit untuk dirubah jika hanya dengan menentukan sinema-dominan berdasarkan jumlah produksi maupun jumlah penonton, karena semua itu kembali bergantung pada waktu dan tempat dominasinya, seperti yang dicontohkan dengan sinema di Jepang bahkan India yang hingga sekarang menjadi penghasil film terbesar di dunia, namun mereka tetap saja pada posisinya. Seperti halnya struktur bangunan pada piramid, rangkaian batu yang menjulang ke atas, Sinema Amerika telah menempati bagian atas dan sulit untuk dirubah.
Demikian dominasi Hollywood tidak dapat lepas begitu saja, karena sebuah fungsi didalamnya yang dapat dimanfaatkan sebagai pembanding maupun kompetitor bagi world cinema. Luicia menyebut John Hill dan Pamela Church Gibson sebagai penggagas yang menyatakan bahwa Sinema Amerika tidak termasuk kedalam teori World Cinema, namun dilain sisi Hill mendukung Hollywood dengan berbagai argumennya, seperti dalam pernyataan bahwa estetika Hollywood sebagai bahan adopsi bagi sinema non-Hollywood, namun pendekatan hubungan biner seperti ini jika dilihat dari segi positif akan dapat menguntungkan World Cinema dalam pemberian distansi akan film sebagai produk seni dengan komersial (produksi Hollywood). Secara tidak langsung Lucia menolak pemikiran Hill dan Pamela dengan menegaskan bahwa “World Cinema” adalah “Cinema of the World” yang tidak memiliki sebuah titik pusat, World Cinema berarti seluruh sinema yang berada di dunia dan layaknya dunia, World Cinema pun memiliki siklus.
Namun hubungan biner tersebut tetap harus dihilangkan dalam world cinema dalam pencapaiannya menuju pluralisme liberal. Sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh tiap negara dalam menunjukan identitas aslinya. Semua memiliki posisi yang sama, tanpa ada campur tangan siapapun, biarkan kondisi yang membentuk mereka dengan sendirinya. Dengan paham ini maka tidak diperlukan lagi pemikiran tentang adanya titik episentrum.

C. Latin American Cinema: From Underdevelopment to Postmodernism
Jika kita menyebut Amerika (Hollywood) sebagai kelompok dominan, maka sebut saja negara dunia ketiga sebagai subordinat dengan para penghuni seperti negara-negara dibagian latin Amerika. Negara-negara yang berbasis militan dengan sudut pandang jauh berbeda dengan negara maju bahkan negara berkembang lainnya. Dengan semangat kebebasan yang mereka usung kemudian merambah kedalam sinemanya, sehingga Sinema Dunia Ketiga (1969) terlahir dengan semangat politik yang kuat. Berbeda dengan negara-negara sebelumnya yang mencoba bereksperimen, mencari gaya baru dalam sinema, di Eropa dikenal sebagai gerakan artistik-estetik dengan tujuan memproduksi sebuah karya seni, namun disini juga Eropa, khususnya Italia, dianggap sebagai duta yang telah mengenalkan estetika-anti imperialisme dalam pembentukan identitas sinema dunia ketiga. Hingga muncul beberapa karya yang menguatkan kontribusi Italia dalam proses penciptaan Sinema Dunia Ketiga, seperti dalam “Aesthetic of Poverty”, sebuah tulisan yang dibuat oleh kritikus film Brazil, Benedito Duarte (1947). Dikatakan disini bahwa filmmaker Italia dapat menciptakan sebuah film penuh keindahan namun dengan keterbatasan alat dan kemiskinan .
Sebagaimana Chanan memberi gambaran tentang kondisi buruk (underdevelopment-theory) oleh imperialisme dalam ekonomi yang disebabkan oleh eksploitasi berkelanjutan terhadap negara-negara bagian (negara-negara yang menjadi kelompok subordinat), mencemari ekonomi, budaya, sosial bahkan negara. Sebagai bukti kongkrit adalah ketika Meksiko bergabung dengan NAFTA (North American Free Trade Agreement) yang berdampak buruk bagi sinema Meksiko karena monopoli Amerika. Hubungannya dengan NAFTA ini justru membuka jalan bagi meluapnya produksi film Amerika yang membanjiri negara tersebut. Sehingga negera-negara bagian ini mengusung “Sinema Dunia Ketiga”, menjadikan sinema sebagai senjata perlawanan terhadap hegemoni imperialisme Amerika dalam merebut kebebasan.
Berbagai kekurangan (Underdevelopment-theory) dalam produksi maupun eksebisi menjadikan sinema dunia ketiga memiliki memiliki daya tarik tersendiri yang dapat menguatkan identitasnya. Ditambah lagi dengan keyakinan mereka bahwa underdevelopment-theory ini tidak menjadi faktor yang menghambat modernisasi, karena budaya dari negara-negara bagian ini pun terlahir dari sebuah bentuk kontradiksi antara tradisi-budaya dengan perbedaan sejarah yang menghadirkan transbudaya dan transnasional.
III. PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sebuah pernyataan bijak yang menyarankan kita melihat segala sesuatunya dari segi positif, bahkan dalam kasus World Cinema ini, kita disarankan untuk dapat menerima sebuah dominasi yang telah lama terlihat dengan menjadikannya sebagai pembanding, dualitas antara kelompok dominan dengan subordinat.
Peran sebuah politik terlihat disini, sangat kasat mata, ketika berbagai negara tersebut berusaha menunjukan eksistensinya dan kekuatannya pada dunia (menggunakan cinema) dengan alibi menunjukan identitas negara, nasionalisme yang ditunjukan lewat berbagai media sehingga dapat menciptakan impresi menakutkan bagi negara lain, menjadikan negaranya kuat dimata negara lain, mencangkok kekuasaan suatu golongan dalam ruang-ruang pemikiran masyarakat yang kemudian terhegemoni. Sebuah invasi bentuk lain yang memiliki sifat menyerupai ideologi aparatur negara, terselubung oleh film yang menjadi produk atau perangkat penciptaan kekuasaan suatu negara.
Dan jika dapat dianalogikan, fenomena ini serupa dengan yang dikemukakan oleh Louis Althuser dalam pemikirannya tentang aparatus negara ideologi . Betapa negara secara eksplisit adalah sebuah bentuk besar aparatus yang membentuk berbagai ensembel untuk mempertahankan bahkan mendapatkan kekuasaan baik itu secara intern maupun ekstern. Aparatus berbentuk ideologi ini menyerang tanpa kekerasan sedikitpun, terselubung rapih. Mengontrol tatanan sosial dengan penanaman doktrin-doktrin melalui berbagai media, termasuk sinema.



B. DAFTAR PUSTAKA

- Franz Magniz Suseno. Pemikiran Karl Marx. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta : 1999.
- John M. Echlos dan Hassan Shadily. Kamus Inggris - Indonesia. PT. Gramedia. Jakarta : 1995
- Louis Althusser. Tentang Ideologi. Jalasutra. Yogyakarta : 2004.
- Robert Stam. Film Theory, an Introduction. Blackwell Publishers. Massachusetts: 2000.
- Stephanie Dennison dan Song Hwee Lim. Remapping World Cinema, Identity, Culture and Politics in Film. Wallflower Press. New York dan London : 2006.

Resume “Film Studies: Chapter 3”

FILM AUTHORSHIP:
THE DIRECTORS AS AUTEURS

Menjadikan seorang sutradara sebagai auteur tidak akan terlepas dengan konsepsinya akan mise-en-scene, dengan menyamakan persepsi bahwa mise-en-scene adalah ‘segala sesuatu’ yang muncul di depan kamera, seperti setting, tata cahaya, gerak pemain dan lain-lain. Satu hal lagi yang sering dilupakan adalah mise en shot, sebagai metode sang sutradara menampilkan ‘segala sesuatu’ tersebut dan diterjemahkannya kedalam bahasa gambar.
Merujuk pada “la politique des auteurs/auteurs policy” yang memperjuangkan sutradara sebagai seniman dari karyanya (film), bukan hanya sekedar teknisi. Dengan mudah kita mengatakan bahwa seorang sutradara yang memiliki konsistensi style dan tema dalam filmnya adalah seorang auteur dan sebagai oposisinya adalah metteurs-en-scene yang bekerja berdasarkan deskripsi dari skenario. Dua posisi diatas dibuat berdasar situtasi industri yang mengikat sutrada dalam penciptaan sebuah film.

Francois Truffaut dan Cahiers du Cinema
Sebagai pencetus “la politique des auteurs”, peran Cahiers du Cinema sangat besar disini, terlepas dari masalah pribadi dalam melawan sinema tradisi yang berkembang di Prancis oleh gerakan ‘French New Wave’. Jurnal sinema yang dipelopori oleh para filmmaker muda Prancis seperti Godard, Truffaut, Rivette, Rohmer dan Chabrol pada 1950-an.
Disini kita akan melihat peran anak-anak muda ini memperjuangkan auteurs, terutama Trufffaut dengan manifesto ‘A Certain Tendency of French Cinema’ yang menentang sinema Prancis pada 1940-1950an yang ia sebut sebagai “tradition of quality”. Bagi Truffaut, film-film pada era ini hanya mentransfer skenario kedalam bentuk film sehingga kesuksesan dan kegagalan sebuah film bergantung pada skenarionya. Truffaut bersama Cahiers memberi pengaruh pada perkembangan sinema Prancis selanjutnya (New Wave), dimana style hadir sebagai unsur terpenting dari film itu sendiri.
Kritik dari Cahiers du Cinema kemudian mengarah ke Hollywood sebagai industri film terbesar, menyinggung Alfred Hitchcock, Howard Hawks, Orson Welles, Fritz Lang, John Ford, Douglas Sirk, Sam Fuller dan Nicholas Ray sebagai para sutradara yang pantas disebut sebagai auteur, karena kemampuannya dalam mengolah skenario (sebagai blue-print dari sebuah produksi film) yang ada dengan tetap menuangkan subjektifitas dan personalisasinya kedalam film. Kamuflase yang dilakukan filmmaker Hollywood diatas dalam membodohi dominasi produser. Hal ini menguatkan persepsi atas auter sebagai the man behind the gun.

Movie Magazine
Walaupun majalah Movie (1962) dianggap sebagai penjelmaan Cahiers du Cinema di daratan Inggris dan Amerika Utara. Dengan mengadopsi “auteur policy”, kritikus film Inggris seperti Ian Cameron, Mark Shivas, Paul Mayersberg dan Victor Perkins melihat auteur dalam sistem studio Hollywood dan memberikan pandangan kontras pada Cahiers tentang klasifikasi auteur itu sendiri. Sebelumnya Cahiers (Jacques Rivette) memberi perbandingan antara Fritz Lang sebagai auteur dan Vicente Minelli sebagai metteur-en-scene. Movie memberi pembelaan terhadap Minelli dengan mengatakan bahwa konsistensi dari style Minelli adalah superioritas style yang melampaui skenario yang ada. Sehingga bagi Shivas, Minelli adalah auteur dengan kemampuannya dalam mentransformasikan skenario yang diberikan studio kepadanya menjadi sebuah film yang sarat akan visual-style.

Andrew Sarris
Andrew Sarris-lah yang mengenalkan auteur di Amerika Utara dengan essay ‘Notes on the Auteur Theory in 1962’ dalam sebuah jurnal Film Culture. Disini Sarris menerjemahkan ‘politique des auteurs’ menjadi ‘auteur theory’ dan dengan essay ini juga Sarris menyatakan bahwa ‘auteur theory’ adalah bagian dari sejarah sinema Amerika. Pada 1968 Sarris mengeluarkan buku “The American Cinema: Directors and Direction” yang menjadi alkitab bagi kritikus auteur, walaupun didalamnya tetap memilki kesamaan dengan Cahiers du Cinema dan Movie yang mengangkat konsistensi style dan tematik sebagai alat klasifikasi auteurs.

A bout de souffle / Breathless
“A bout de souffle” adalah sebuah judul karya Jean Luc Godard yang didalamnya penuh dengan muatan perlawanan terhadap ‘sinema tradisi’, terutama teknik yang digunakan Godard dalam memfilmkan film ini. Penggunaan hand-held, pencahayaan yang natural, lokasi yang bukan studio, casual-acting dan penolakan terhadap editing klasik (continuity, linear, dsb.). Teknik-teknik tersebut sama sekali bertentangan dengan ‘sinema tradisi’, sehingga menghasilkan persepsi tentang New Wave dengan filmnya yang spontanius dan penuh improvisasi dalam memaparkan keadaan kelas-menengah filmmaker muda Prancis.

Style dan Tema dalam Film Alfred Hitchcock
Alfred Hitchcock dianggap sebagai fenomena dalam sejarah sinema dunia yang mendapat banyak kritik positif dari Cahiers du Cinema, Movie dan The American Cinema. Berikut yang mebuat para kritikus sinema melihat Hitchcock sebagai seorang auteur:
• Style
Hitchcock mendapat pengaruh besar dari Ekspresionisme Jerman dan teori montage Soviet. Dua film pertamanya sebagai sutradara (“The Pleasure Garden” dan “The Mountain Eagle”), Hitchcock menyelesaikannya di studio Jerman. Dalam “Psycho” scene pembunuhan dikamar mandi yang ia wujudkan dengan 34 shot dalam 25 detik.
Penggunaan Poin-of-View shot yang mewakili tokoh-tokohnya, sehingga diketahui bahwa Hitchcock sangat tertarik pada voyeurism, dengan contoh film “Rear Window” dan “Vertigo”.
Pemilihan lokasi (set) yang memiliki ruang gerak terbatas dengan alasan lokasi tersebut menantangnya dalam mengkonstruksi film.
1940an ketika Hitchcock beralih dari ketertarikannya terhadap montage, ia menggunakan teknik long-take shot demi mendapatkan keutuhan dramatik dari ruang dan waktu.

• Tematik
Hitchcock memiliki dua struktur naratif yang tidak lepas dari investigasi (biasanya pembunuhan). Pertama, fokus film terhadap protagonis yang membawa penonton kedalam investigasinya. Kedua, adalah melalui tokoh protagonis yang diinvestigasi.

Sinema Wim Wanders
Wim Wanders muncul sebagai seorang figur yang memiliki pengaruh dalam ‘New German Cinema’(1965-1982). Secara keras menolak gerakan sutradara-komersil setelah Perang Dunia II. Mereka menjadikan sinema Amerika sebagai kiblat dan menjadikan produser dan penulis skenario sebagai sutradara, seperti Werner Herzog, Alexander Kluge, Rainer Werner Fassbinder dan sebagai contoh disini adalah Wim Wenders:
• Tematik
Latar belakang Wanders sangat mempengaruhi film-filmnya, terutama ketika terjadi dominasi Amerika di Jerman. Situasi yang terjadi disini adalah kehilangannya identitas bangsa Jerman setelah Perang Dunia II dan hal inilah yang terjadi pada Wanders, sehingga filmnya yang mewakili ‘New German Cinema’ dianggap sebagai representasi akan situasi Jerman pada saat itu.

Tema Road Movie sebagai tema yang dominan dari karya-karya Wenders yang memperlihatkan sebuah benang merah tematik, pencarian akan identitas asli. Seperti yang terdapat dalam “Alice in the City” (1974), “Kings of the Road” (1976), “The American Friend” (1977), “Paris, Texas” (1984) dan “Until the End of the World” (1991).

Kemudian tema tentang persahabatan pria yang beralih kehubungan antara pria dengan wanita. Seperti dalam “Kings of the Road” dan “The American Friend” dimana wanita hampir tidak dianggap sama sekali, walaupun Wenders menghadirkan sosok wanita dalam “Alice in the City”, wanita ini hanya seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun. Dengan film-filmnya, kita dapat melihat persepsi Wanders tentang sosok wanita.

• Elemen formal (style)
Secara umum, elemen film bergerak sesuai dengan logika naratif dari skenario sedangkan Wanders melakukan sebaliknya, lebih menitikberatkan imaji dari pada naratifnya. Hal ini tidak lepas dari ketertarikan Wenders dalam menampilkan sudut pandang dari kamera itu sendiri, memberi kebebasan pada penonton dalam observasi dan menunjukan peristiwa. Secara temporal, fenomena ini disebut dengan ‘dead time’.


Auteur Kontemporer

Saat ini polemik auteur berkembang menjadi kategori dalam industri memacu sutradara menonjolkan/menguatkan ciri khasnya, menyatakan dirinya berbeda dengan sutradara lain, sehingga terjadi sebuah perlombaan visual style antar sutrada yang turut berperan dalam membangun nilai pasar.