Senin, 23 November 2009

The Eclectic Esenstein

Sebagai seorang filmmaker dan teoritis dimana teori-teorinya yang sangat kaya dan kuat sehingga sulit untuk disimpulkan, sedangkan teori yang dibuat berawal dari intuisinya. Sehingga teorinya terkadang menganggap film sebagai mesin atau sebagai organik, bahkan lebih tinggi lagi sebagai mistik. Seperti, pertama, konsep sebuah shot adalah materi dasar yang membentuk film hingga film memiliki (attraction) sebuah konsep yang komplek bagi pikiran dan memancing reaksi pada spectator, bukan hanya sekedar tontonan. Kedua, montage yang memberikan kesan dramatik pada spectator.

Kesadaran Eisenstein akan sebuah partikel untuk terlepas dari realita sehingga menjadikan objeknya sebagai seni (konsep ini disebutnya dengan neutralization), membuatnya ingin membuat shot terpisah dari realita, sehingga film memiliki status seni yang otonom. Dalam Teater Kabuki Eisenstein menemukan gaya yang melebihi realita, bahkan melenceng. Cerita yang disampaikan dalam kabuki adalah berbentuk satu-kesatuan antara gestur, musik dan lain-lain. Hal ini diterapkan Eisenstein pada film dengan mengkombinasikan seluruh elemen dalam film yang bertujuan agar spectator mendapatkan impresi psikologi yang tepat. Ini yang membuat filmmaker memiliki kemampuan attraction.

Dan pengembangan teori montage nya dengan menggunakan metode yang sama dengan puisi Jepang, Haiku, hanya saja bebeda materialnya. Haiku menggunakan kata-kata, sedangkan montage menggunakan shot yang di dalamnya terdapat berbagai elemen yang dapat menimbulkan konflik ketika shot dihubungkan. Hasil dari konflik itulah yang akan menimbulkan arti baru bagi spectator. Begitu pun hubungannya dengan para psikolog, terutama Jean Piaget yang membantunya dalam menemukan ide tentang ego centrism, primary felt symbol, montage thingking dan inner speech yang semakin memperkaya dan memperkuat teorinya. Namun perkembangan teknologi membenturkannya dengan suara, warna bahkan 3-D yang membuat film semakin sulit lepas dari realita. Untuk suara dan warna, Eisenstein masih dapat mengadaptasikan teorinya, dengan mengembangkan cara penggunaannya sehingga memiliki interaksi dengan elemen lainnya dalam film. Sedangkan untuk 3-D Eisenstein memberi pengecualian, karena untuknya itu adalah sebuah pelanggaran.

Dengan teori-teorinya Eisenstein menyarankan filmmaker bekerja layaknya seorang komposer mengaransemen banyak nada secara sensitif yang berasal dari getaran sehingga sekumpulan nada tersebut dapat diterima dengan terorganisir dan menciptakan impresi akhir, perasaan akan totalitas, keutuhan.
Eisenstein percaya bahwa proses kerja seni adalah sebuah mekanika mesin yang ditemukan untuk memecahkan masalah yang telah ada sebelumnya dan itu didesain sebelum diciptakan. Sama halnya dengan mesin yang membutuhkan bahan baku (attraction) yang memberi energi untuk bergerak secara teratur (montage), mengembangkan arti dramatik dengan utuh dan terkontrol (cerita, tone, karakter dan lainnya), hingga tujuan akhir (ide akhir atau tema).

Selain itu Eisenstein juga percaya bahwa kerja seni seperti organisme yang selalu akan beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitar tanpa kehilangan jati dirinya, dan yang membuatnya tetap bertahan seperti adanya adalah tema. Sehingga baginya tugas seorang filmmaker atau seniman adalah memahami kebenaran bentuk atas kejadian atau fenomena alamiah kemudian memanfaatkan bentuk tersebut sebagai sebuah kerja seni.

*****

Film terbentuk dari sebuah partikel terkecil (shot) yang memiliki kekuatan dalam mempengaruhi penonton, serta penggabungan shot yang mengakibatkan konfilk yang menghasilkan interpretasi tersendiri bagi penonton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar