Senin, 23 November 2009

Remaping World Cinema in a Post-World Order

I. PENDAHULUAN

A. PENGANTAR
Sebuah ulasan mengenai World Cinema yang dibahas oleh Dudley Andrew, Lucia Nagib dan Michael Chanan yang tergabung dalam sebuah buku-rangkuman yang berjudul “Remapping World Cinema”. Dalam bahasan yang dibagi dalam tiga chapter (bagian) ini mereka mencoba mengurai istilah World Cinema.
Namun penulis akan mencoba membahas masalah ini secara implisit dan lebih dalam lagi, mengenai perlombaan yang dilakukan berbagai negara dalam memproduksi dan mengeksebisi filmnya hingga keberbagai negara asing. Seakan tercium sebuah pencapaian hingga pelestarian terhadap dominasi suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lain.

B. LATAR BELAKANG
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa setiap individu ingin menunjukan ekistensinya dalam kehidupan yang bersifat sosial ini. Hingga muncul sebuah kekuatan yang bernama Negara dengan peranannya sebagai perangkat yang mengatasi dan menyatukan egoisme dari semua individu . Karena ke-egoisme-an para individu tersebut telah ditahan oleh Negara, maka mereka menciptakan kepentingan bersama bersifat objektif untuk negaranya, namun pada akhirnya subjektif bagi negara lain, hingga kini dapat dikatakan bahwa Negara memiliki kepentingan yang tidak berbeda dengan individu-individu didalamnya (masyarakat), yakni mewujudkan eksistensinya di dunia. Sebuah fenomena yang pada akhirnya menyebabkan perpecahan berbagai konflik baik dalam negara itu sendiri maupun dengan negara lainnya.

C. MASALAH
Tidak sedikit orang beranggapan bahwa media massa itu jahat, karena kemampuannya dalam membentuk opini publik, begitupun dengan film, ia dapat menggiring pendapat orang (penontonnya), dan membentuk sikap objektifitas dari pendapat umum. Sebagai sebuah contoh sederhana adalah; sinetron dan telenovela yang telah dikritik karena dapat membuai masyarakat dari keseharian persoalan, demikian pula MTv yang memiliki peluang menentukan genre musik yang tren saat ini atau kapanpun. Televisi yang menampilkan hasil poling yang tak adil dikritik karena dapat mempengaruhi pasar pemilihan. Film yang mampu memberikan berbagai dampak dikarenakan kayanya muatan dari segi cerita dan segi teknis. Hanya sebagai contoh saja, film “G.30.S PKI” sebuah film yang dianggap memiliki unsur propagandis yang kemudian menciptakan sebuah persepsi baru tentang apa yang mereka lihat dalam film. Hingga pada akhirnya muncul pertanyaan, apakah sinema (film) memiliki kandungan yang menyerupai dengan apa yang telah dikonsepsikan oleh Lois Althuser dalam Ideological State Aparatus ?.


II. ISI

A. An Atlas of World Cinema
Dudley Andrew mengurai sinema dengan analogi atlas, menampilkan perbedaan aspek, elemen dan dimensi dalam berbagai wilayah. Melalui wilayah historikal hingga infrastruktur sinema terbagi berdasarkan asalnya. Dominasi sebuah negara hingga negara lain mendapat posisi subordinat dalam sinema yang kemudian mempengaruhi produksi dan eksebisi film masing-masing.
Dalam chapter ini Andrew memperlihatkan sebuah hubungan bersifat oposional terjadi dalam perkembangan sinema dikarenakan telah tercipta dikotomi didalamnya, pertama kelompok dominan seperti Hollywood yang mendapatkan posisinya dari warisan pasca kolonialisme dan pasca moderisme dunia barat. Kedua adalah kelompok subordinat yang menyimpang dari sistem Hollywood, posisi subordinat ini ditempati oleh berbagai belahan negara lainnya seperti Prancis, daratan Inggris, Jepang, Brazil dan negara-negara yaang tergabung dalam dalam dunia ketiga lainnya.
Studio-studio besar yang memproduksi berbagai film dengan aturan-aturan yang sudah ada dengan tujuan komersialitas dan memonopoli pasar yang menjadi misi utama sebuah industri. Sebagai titik episentrum perfilman dunia, baik disadari maupun tidak Hollywood telah membentuk selera massa dengan budaya populernya (mainstream), menghilangkan jati diri mereka, menjauhkannya dari identitas aslinya, terutama World Cinema sebagai kelompok yang menjadi subordinat karena perbedaannya dalam penggarapan produksi dan tematik penceritaan sebuah film.
Namun kekurangan ini memberikan posisi tersendiri bagi produksi-produksi selain Hollywood dalam bergerak dan berkembang, mereka bersimbiosis dengan kelompok dominan, menjadikannya sebagai pembanding (tetapi bukan sebagai tolok ukur), kemudian melahirkan festival-festival sebagai wadah bahkan tempat bersaing berbagai negara dalam mendapat pengakuan akan jati dirinya dimata negara lain. Festival-festival yang diselenggarakan dengan pengklasifikasian non-komersial film. Film-film yang diikutsertakan adalah film-film yang mengangkat isu-isu yang tengah berkembang dan mencirikan identitas negaranya masing-masing.
Dengan segala cara bagi sebuah negara dalam mendapatkan pengakuan dari negara lain, dengan film-seperti yang dibahas sebelumnya, berbagai negara telah menyadari dan mengakui kehadiran Hollywood sebagai industri film terkuat, hingga posisi tersebut menciptakan persepsi yang serupa untuk negaranya, Amerika. Kekuatan yang hadir didukung pula oleh pemahaman Hollywood terhadap segi linguistik, pemanfaatan bahasa-visual-sederhana yang terkandung dalam film, maupun bahasa verbal mereka telah menjadi bahasa universal yang memudahkan Hollywood mendapat perhatian lebih dari penonton diberbagai negara.
Adapun pilihan dari negara itu sendiri dalam memberikan kebijakan yang menentukan kemana arah dari sinema mereka, contohnya seperti Prancis, walaupun telah memiliki peran sebagai negara yang melahirkan film tergeser posisinya oleh Hollywood, dikarenakan kebijakan dari pemerintah Prancis dalam menjadikan sinema Prancis sebagai tradisi nasional, menjadikannya sebagai sebuah karya seni, sebagaimana seni telah melekat dan menguatkan identitasnya.

B. Towards a Positive Definition of World Cinema
Sinema Amerika, sinema Hollywood klasik pada khususnya, telah memberikan kontribusinya kepada perkembangan sinema seluruh dunia, namun sebagaimana yang telah disebut oleh Andrew, Luicia pun menyatakan bahwa Sinema Amerika (Hollywood) telah menempati posisi istimewa sejak berakhirnya Perang Dunia I. Sebuah era yang mengarahkan World Cinema berartikulasi dengan persepsi budaya yang lebih luas. Lagi pula posisi tersebut sulit untuk dirubah jika hanya dengan menentukan sinema-dominan berdasarkan jumlah produksi maupun jumlah penonton, karena semua itu kembali bergantung pada waktu dan tempat dominasinya, seperti yang dicontohkan dengan sinema di Jepang bahkan India yang hingga sekarang menjadi penghasil film terbesar di dunia, namun mereka tetap saja pada posisinya. Seperti halnya struktur bangunan pada piramid, rangkaian batu yang menjulang ke atas, Sinema Amerika telah menempati bagian atas dan sulit untuk dirubah.
Demikian dominasi Hollywood tidak dapat lepas begitu saja, karena sebuah fungsi didalamnya yang dapat dimanfaatkan sebagai pembanding maupun kompetitor bagi world cinema. Luicia menyebut John Hill dan Pamela Church Gibson sebagai penggagas yang menyatakan bahwa Sinema Amerika tidak termasuk kedalam teori World Cinema, namun dilain sisi Hill mendukung Hollywood dengan berbagai argumennya, seperti dalam pernyataan bahwa estetika Hollywood sebagai bahan adopsi bagi sinema non-Hollywood, namun pendekatan hubungan biner seperti ini jika dilihat dari segi positif akan dapat menguntungkan World Cinema dalam pemberian distansi akan film sebagai produk seni dengan komersial (produksi Hollywood). Secara tidak langsung Lucia menolak pemikiran Hill dan Pamela dengan menegaskan bahwa “World Cinema” adalah “Cinema of the World” yang tidak memiliki sebuah titik pusat, World Cinema berarti seluruh sinema yang berada di dunia dan layaknya dunia, World Cinema pun memiliki siklus.
Namun hubungan biner tersebut tetap harus dihilangkan dalam world cinema dalam pencapaiannya menuju pluralisme liberal. Sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh tiap negara dalam menunjukan identitas aslinya. Semua memiliki posisi yang sama, tanpa ada campur tangan siapapun, biarkan kondisi yang membentuk mereka dengan sendirinya. Dengan paham ini maka tidak diperlukan lagi pemikiran tentang adanya titik episentrum.

C. Latin American Cinema: From Underdevelopment to Postmodernism
Jika kita menyebut Amerika (Hollywood) sebagai kelompok dominan, maka sebut saja negara dunia ketiga sebagai subordinat dengan para penghuni seperti negara-negara dibagian latin Amerika. Negara-negara yang berbasis militan dengan sudut pandang jauh berbeda dengan negara maju bahkan negara berkembang lainnya. Dengan semangat kebebasan yang mereka usung kemudian merambah kedalam sinemanya, sehingga Sinema Dunia Ketiga (1969) terlahir dengan semangat politik yang kuat. Berbeda dengan negara-negara sebelumnya yang mencoba bereksperimen, mencari gaya baru dalam sinema, di Eropa dikenal sebagai gerakan artistik-estetik dengan tujuan memproduksi sebuah karya seni, namun disini juga Eropa, khususnya Italia, dianggap sebagai duta yang telah mengenalkan estetika-anti imperialisme dalam pembentukan identitas sinema dunia ketiga. Hingga muncul beberapa karya yang menguatkan kontribusi Italia dalam proses penciptaan Sinema Dunia Ketiga, seperti dalam “Aesthetic of Poverty”, sebuah tulisan yang dibuat oleh kritikus film Brazil, Benedito Duarte (1947). Dikatakan disini bahwa filmmaker Italia dapat menciptakan sebuah film penuh keindahan namun dengan keterbatasan alat dan kemiskinan .
Sebagaimana Chanan memberi gambaran tentang kondisi buruk (underdevelopment-theory) oleh imperialisme dalam ekonomi yang disebabkan oleh eksploitasi berkelanjutan terhadap negara-negara bagian (negara-negara yang menjadi kelompok subordinat), mencemari ekonomi, budaya, sosial bahkan negara. Sebagai bukti kongkrit adalah ketika Meksiko bergabung dengan NAFTA (North American Free Trade Agreement) yang berdampak buruk bagi sinema Meksiko karena monopoli Amerika. Hubungannya dengan NAFTA ini justru membuka jalan bagi meluapnya produksi film Amerika yang membanjiri negara tersebut. Sehingga negera-negara bagian ini mengusung “Sinema Dunia Ketiga”, menjadikan sinema sebagai senjata perlawanan terhadap hegemoni imperialisme Amerika dalam merebut kebebasan.
Berbagai kekurangan (Underdevelopment-theory) dalam produksi maupun eksebisi menjadikan sinema dunia ketiga memiliki memiliki daya tarik tersendiri yang dapat menguatkan identitasnya. Ditambah lagi dengan keyakinan mereka bahwa underdevelopment-theory ini tidak menjadi faktor yang menghambat modernisasi, karena budaya dari negara-negara bagian ini pun terlahir dari sebuah bentuk kontradiksi antara tradisi-budaya dengan perbedaan sejarah yang menghadirkan transbudaya dan transnasional.
III. PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sebuah pernyataan bijak yang menyarankan kita melihat segala sesuatunya dari segi positif, bahkan dalam kasus World Cinema ini, kita disarankan untuk dapat menerima sebuah dominasi yang telah lama terlihat dengan menjadikannya sebagai pembanding, dualitas antara kelompok dominan dengan subordinat.
Peran sebuah politik terlihat disini, sangat kasat mata, ketika berbagai negara tersebut berusaha menunjukan eksistensinya dan kekuatannya pada dunia (menggunakan cinema) dengan alibi menunjukan identitas negara, nasionalisme yang ditunjukan lewat berbagai media sehingga dapat menciptakan impresi menakutkan bagi negara lain, menjadikan negaranya kuat dimata negara lain, mencangkok kekuasaan suatu golongan dalam ruang-ruang pemikiran masyarakat yang kemudian terhegemoni. Sebuah invasi bentuk lain yang memiliki sifat menyerupai ideologi aparatur negara, terselubung oleh film yang menjadi produk atau perangkat penciptaan kekuasaan suatu negara.
Dan jika dapat dianalogikan, fenomena ini serupa dengan yang dikemukakan oleh Louis Althuser dalam pemikirannya tentang aparatus negara ideologi . Betapa negara secara eksplisit adalah sebuah bentuk besar aparatus yang membentuk berbagai ensembel untuk mempertahankan bahkan mendapatkan kekuasaan baik itu secara intern maupun ekstern. Aparatus berbentuk ideologi ini menyerang tanpa kekerasan sedikitpun, terselubung rapih. Mengontrol tatanan sosial dengan penanaman doktrin-doktrin melalui berbagai media, termasuk sinema.



B. DAFTAR PUSTAKA

- Franz Magniz Suseno. Pemikiran Karl Marx. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta : 1999.
- John M. Echlos dan Hassan Shadily. Kamus Inggris - Indonesia. PT. Gramedia. Jakarta : 1995
- Louis Althusser. Tentang Ideologi. Jalasutra. Yogyakarta : 2004.
- Robert Stam. Film Theory, an Introduction. Blackwell Publishers. Massachusetts: 2000.
- Stephanie Dennison dan Song Hwee Lim. Remapping World Cinema, Identity, Culture and Politics in Film. Wallflower Press. New York dan London : 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar