Senin, 23 November 2009

Resume “Film Studies: Chapter 3”

FILM AUTHORSHIP:
THE DIRECTORS AS AUTEURS

Menjadikan seorang sutradara sebagai auteur tidak akan terlepas dengan konsepsinya akan mise-en-scene, dengan menyamakan persepsi bahwa mise-en-scene adalah ‘segala sesuatu’ yang muncul di depan kamera, seperti setting, tata cahaya, gerak pemain dan lain-lain. Satu hal lagi yang sering dilupakan adalah mise en shot, sebagai metode sang sutradara menampilkan ‘segala sesuatu’ tersebut dan diterjemahkannya kedalam bahasa gambar.
Merujuk pada “la politique des auteurs/auteurs policy” yang memperjuangkan sutradara sebagai seniman dari karyanya (film), bukan hanya sekedar teknisi. Dengan mudah kita mengatakan bahwa seorang sutradara yang memiliki konsistensi style dan tema dalam filmnya adalah seorang auteur dan sebagai oposisinya adalah metteurs-en-scene yang bekerja berdasarkan deskripsi dari skenario. Dua posisi diatas dibuat berdasar situtasi industri yang mengikat sutrada dalam penciptaan sebuah film.

Francois Truffaut dan Cahiers du Cinema
Sebagai pencetus “la politique des auteurs”, peran Cahiers du Cinema sangat besar disini, terlepas dari masalah pribadi dalam melawan sinema tradisi yang berkembang di Prancis oleh gerakan ‘French New Wave’. Jurnal sinema yang dipelopori oleh para filmmaker muda Prancis seperti Godard, Truffaut, Rivette, Rohmer dan Chabrol pada 1950-an.
Disini kita akan melihat peran anak-anak muda ini memperjuangkan auteurs, terutama Trufffaut dengan manifesto ‘A Certain Tendency of French Cinema’ yang menentang sinema Prancis pada 1940-1950an yang ia sebut sebagai “tradition of quality”. Bagi Truffaut, film-film pada era ini hanya mentransfer skenario kedalam bentuk film sehingga kesuksesan dan kegagalan sebuah film bergantung pada skenarionya. Truffaut bersama Cahiers memberi pengaruh pada perkembangan sinema Prancis selanjutnya (New Wave), dimana style hadir sebagai unsur terpenting dari film itu sendiri.
Kritik dari Cahiers du Cinema kemudian mengarah ke Hollywood sebagai industri film terbesar, menyinggung Alfred Hitchcock, Howard Hawks, Orson Welles, Fritz Lang, John Ford, Douglas Sirk, Sam Fuller dan Nicholas Ray sebagai para sutradara yang pantas disebut sebagai auteur, karena kemampuannya dalam mengolah skenario (sebagai blue-print dari sebuah produksi film) yang ada dengan tetap menuangkan subjektifitas dan personalisasinya kedalam film. Kamuflase yang dilakukan filmmaker Hollywood diatas dalam membodohi dominasi produser. Hal ini menguatkan persepsi atas auter sebagai the man behind the gun.

Movie Magazine
Walaupun majalah Movie (1962) dianggap sebagai penjelmaan Cahiers du Cinema di daratan Inggris dan Amerika Utara. Dengan mengadopsi “auteur policy”, kritikus film Inggris seperti Ian Cameron, Mark Shivas, Paul Mayersberg dan Victor Perkins melihat auteur dalam sistem studio Hollywood dan memberikan pandangan kontras pada Cahiers tentang klasifikasi auteur itu sendiri. Sebelumnya Cahiers (Jacques Rivette) memberi perbandingan antara Fritz Lang sebagai auteur dan Vicente Minelli sebagai metteur-en-scene. Movie memberi pembelaan terhadap Minelli dengan mengatakan bahwa konsistensi dari style Minelli adalah superioritas style yang melampaui skenario yang ada. Sehingga bagi Shivas, Minelli adalah auteur dengan kemampuannya dalam mentransformasikan skenario yang diberikan studio kepadanya menjadi sebuah film yang sarat akan visual-style.

Andrew Sarris
Andrew Sarris-lah yang mengenalkan auteur di Amerika Utara dengan essay ‘Notes on the Auteur Theory in 1962’ dalam sebuah jurnal Film Culture. Disini Sarris menerjemahkan ‘politique des auteurs’ menjadi ‘auteur theory’ dan dengan essay ini juga Sarris menyatakan bahwa ‘auteur theory’ adalah bagian dari sejarah sinema Amerika. Pada 1968 Sarris mengeluarkan buku “The American Cinema: Directors and Direction” yang menjadi alkitab bagi kritikus auteur, walaupun didalamnya tetap memilki kesamaan dengan Cahiers du Cinema dan Movie yang mengangkat konsistensi style dan tematik sebagai alat klasifikasi auteurs.

A bout de souffle / Breathless
“A bout de souffle” adalah sebuah judul karya Jean Luc Godard yang didalamnya penuh dengan muatan perlawanan terhadap ‘sinema tradisi’, terutama teknik yang digunakan Godard dalam memfilmkan film ini. Penggunaan hand-held, pencahayaan yang natural, lokasi yang bukan studio, casual-acting dan penolakan terhadap editing klasik (continuity, linear, dsb.). Teknik-teknik tersebut sama sekali bertentangan dengan ‘sinema tradisi’, sehingga menghasilkan persepsi tentang New Wave dengan filmnya yang spontanius dan penuh improvisasi dalam memaparkan keadaan kelas-menengah filmmaker muda Prancis.

Style dan Tema dalam Film Alfred Hitchcock
Alfred Hitchcock dianggap sebagai fenomena dalam sejarah sinema dunia yang mendapat banyak kritik positif dari Cahiers du Cinema, Movie dan The American Cinema. Berikut yang mebuat para kritikus sinema melihat Hitchcock sebagai seorang auteur:
• Style
Hitchcock mendapat pengaruh besar dari Ekspresionisme Jerman dan teori montage Soviet. Dua film pertamanya sebagai sutradara (“The Pleasure Garden” dan “The Mountain Eagle”), Hitchcock menyelesaikannya di studio Jerman. Dalam “Psycho” scene pembunuhan dikamar mandi yang ia wujudkan dengan 34 shot dalam 25 detik.
Penggunaan Poin-of-View shot yang mewakili tokoh-tokohnya, sehingga diketahui bahwa Hitchcock sangat tertarik pada voyeurism, dengan contoh film “Rear Window” dan “Vertigo”.
Pemilihan lokasi (set) yang memiliki ruang gerak terbatas dengan alasan lokasi tersebut menantangnya dalam mengkonstruksi film.
1940an ketika Hitchcock beralih dari ketertarikannya terhadap montage, ia menggunakan teknik long-take shot demi mendapatkan keutuhan dramatik dari ruang dan waktu.

• Tematik
Hitchcock memiliki dua struktur naratif yang tidak lepas dari investigasi (biasanya pembunuhan). Pertama, fokus film terhadap protagonis yang membawa penonton kedalam investigasinya. Kedua, adalah melalui tokoh protagonis yang diinvestigasi.

Sinema Wim Wanders
Wim Wanders muncul sebagai seorang figur yang memiliki pengaruh dalam ‘New German Cinema’(1965-1982). Secara keras menolak gerakan sutradara-komersil setelah Perang Dunia II. Mereka menjadikan sinema Amerika sebagai kiblat dan menjadikan produser dan penulis skenario sebagai sutradara, seperti Werner Herzog, Alexander Kluge, Rainer Werner Fassbinder dan sebagai contoh disini adalah Wim Wenders:
• Tematik
Latar belakang Wanders sangat mempengaruhi film-filmnya, terutama ketika terjadi dominasi Amerika di Jerman. Situasi yang terjadi disini adalah kehilangannya identitas bangsa Jerman setelah Perang Dunia II dan hal inilah yang terjadi pada Wanders, sehingga filmnya yang mewakili ‘New German Cinema’ dianggap sebagai representasi akan situasi Jerman pada saat itu.

Tema Road Movie sebagai tema yang dominan dari karya-karya Wenders yang memperlihatkan sebuah benang merah tematik, pencarian akan identitas asli. Seperti yang terdapat dalam “Alice in the City” (1974), “Kings of the Road” (1976), “The American Friend” (1977), “Paris, Texas” (1984) dan “Until the End of the World” (1991).

Kemudian tema tentang persahabatan pria yang beralih kehubungan antara pria dengan wanita. Seperti dalam “Kings of the Road” dan “The American Friend” dimana wanita hampir tidak dianggap sama sekali, walaupun Wenders menghadirkan sosok wanita dalam “Alice in the City”, wanita ini hanya seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun. Dengan film-filmnya, kita dapat melihat persepsi Wanders tentang sosok wanita.

• Elemen formal (style)
Secara umum, elemen film bergerak sesuai dengan logika naratif dari skenario sedangkan Wanders melakukan sebaliknya, lebih menitikberatkan imaji dari pada naratifnya. Hal ini tidak lepas dari ketertarikan Wenders dalam menampilkan sudut pandang dari kamera itu sendiri, memberi kebebasan pada penonton dalam observasi dan menunjukan peristiwa. Secara temporal, fenomena ini disebut dengan ‘dead time’.


Auteur Kontemporer

Saat ini polemik auteur berkembang menjadi kategori dalam industri memacu sutradara menonjolkan/menguatkan ciri khasnya, menyatakan dirinya berbeda dengan sutradara lain, sehingga terjadi sebuah perlombaan visual style antar sutrada yang turut berperan dalam membangun nilai pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar