Selasa, 15 Desember 2009

Carnivalesque and Transgression


Carnivalesque , sebagai warisan tradisi rakyat dari zaman Renaisance di abad pertengahan Eropa yang telah memberi sedikit/banyak kontribusi akan bentuk baru dari sinema/film. Pembahasan kali ini mengajak kita kembali ke abad pertengahan, pada zaman Renaisance, pada sebuah tradisi karnaval di Eropa. Dalam tiga chapter ini David Robb, Evelyn Preuss dan Mark Goodall mengangkat beberapa tema pembahasan yang berbeda dalam menggambarkan beberapa elemen yang secara politik memaparkan situasi dalam tatanan sosial sebuah negara, berikut hubungan antar penguasa dengan masyarakatnya.


Peralihan zaman feodal menuju modern mendapat banyak sambutan meriah, baik itu berupa dukungan maupun kontra dari berbagai komunitas masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa Eropa kepada sebuah era industrialisasi yang menitikberatkan perhatiannya terhadap produksi. Era yang dianggap baru ini memiliki prinsip individualisme yang kuat, sehingga melahirkan berbagai ideologi-ideologi baru yang selanjutnya menciptakan kontradiksi baru pula.


Yang menjadi permasalahan jika melihat dari pembahasan “Carnival and Transgression” dimana sebuah tradisi yang mengandung semboyan ‘dari kita, oleh kita dan untuk kita’ memiliki pengaruh besar dalam mencuri perhatian orang banyak sehingga tercipta sebuah kontradiksi dengan era otoriter yang ada sebelumnya. Namun bagaimana para seniman yang mewakili kelas bawah ini mengekspresikan dan memprotes konflik sosial yang ada dengan karya-karyanya?


ISI
A. Carnivalesque Meets Modernity in the Films of Karl Valentin and Charlie Chaplin
David Robb mencoba memaparkan sebuah konflik sosial dalam modernitas yang terkandung dalam film-film Valentin dan Chaplin yang menggunakan teknik teater yang terdapat dalam tradisi Carnivalesque. Kedua badut (komedian) yang dianggap sebagai seniman avant-garde ini memiliki kesamaan dengan gaya mengarah pada slapstik mereka menggambarkan keadaan sosial, politik dan budaya dinegaranya. Walaupun hanya dianggap sebagai karya seni ‘murahan’ pada saat itu yang berakar dari seni hiburan rakyat (Volkssanger, Jerman dan Variety Hall, London), Chaplin dan Valentin bereaksi terhadap kemajuan teknologi yang memegang kendali atas waktu dan kehidupan manusia. Karya-karya mereka tidak dapat dianggap sebagai bentuk protes secara politik terhadap situasi yang ada, namun hanya sebuah cerminan dari kehidupan masyarakat secara komikal dengan segala kekurangannya dalam bertahan hidup.
Jika dilihat dari sejarah tradisi Carnivalesque sendiri yang berkembang diabad pertengahan, maka representasi Valentin dan Chaplin dengan para karakter badutnya ini dapat disebut mengandung unsur politik, karena selebrasi karnaval (dalam Carnivalesque) itu sendiri mengandung ide atas metamorfosis, dimana sekumpulan masyarakat secara temporari menggunakan topeng atau sejenisnya dan berlaga dengan kepribadian lain.
Sensitifitas yang ditunjukan oleh Chaplin dan Valentin atas reaksinya terhadap sebuah konsep pada elemen di zaman modern, konsep waktu, dimana dilakukan penyeragaman waktu yang berpusat pada Greenwich (1884), hingga terbentuk otoritas waktu. Hal inilah yang dicoba dipaparkan oleh kedua badut tersebut, bagaimana waktu mendominasi masyarakat, namun waktu tidak berpengaruh untuk para badut. Bagi Bakhtin hal ini bukanlah sebuah abstraksi, namun sebuah penjabaran akan metamorfosis dunia, pembentukan ulang dari sesuatu yang ‘tua’ menjadi sesuatu yang ‘baru’.


B. The Bakhtinian Headstands of East German Cinema
Pada chapter ini Evelyn Preuss mengulas pembahasan Mikhael Bakhtin terhadap seorang intelektual-humanis Prancis Francois Rebelais. Melalui seminalnya ‘Rebelais and His World’ (1984), Bakhtin menyalahkan kegagalan sejarah dan kesalahpahaman atas hilangnya sensibilitas Carnivalesque yang memberi Bakhtin sebuah dorongan untuk mengembalikan semangat dari Carnivalesque tersebut. Kemudian Preuss menarik benang merah atas kedua orang tersebut yang secara umum kritik mereka hanya tertuju pada eranya, dimana situasi yang ada turut membentuk tekstualnya. Dipastikan oleh Preuss bahwa kekacauan situasi di Jerman ini pula yang memberi kontribusi besar dalam karakterisasi pada produksi Jerman Timur, ditambah dengan kehadiran sinema Jerman Timur yang membawa sejarah dan dongeng.
Sinema Jerman Timur yang digolong kedalam ‘Carnivalesque film’ oleh Preuss telah membentuk sebuah genre baru dalam sinema, dengan eksploitasinya akan tradisi karnaval dan pengaplikasian elemen-elemen dari Carnivalesque kedalam plot dan mise-en-scene. Genre ini seakan menjadi transportasi paling aman bagi para filmmaker dalam menegur ketertutupan politik Jerman Timur dengan humor.
Proyek Bakhtin dalam mengembalikan semangat Carnivalesque mendapat dukungan dari pimpinan partai Soviet, karena kepeduliannya terhadap ideologi revolusi yang menjadi program politik Soviet. Sebagai salah satu program dari Revolusi Rusia dalam membentuk legitimasi gerakan politik sejak dimulainya Revolusi Prancis yang juga menggerakan para ilmuwan seperti Francis Fukuyama atas penegasannya terhadap ideologi demokrasi liberal. Jerman Timur mengangkat prinsip ‘Volksregierung’ (people’s goverment), walaupun sebuah diskursi menyatakan bahwa demokrasi adalah instrumen dari kelas penguasa juga.
Secara sederhana disini modernitas adalah merupakan sebuah bentuk demokrasi, tiap individu memiliki suara yang sama dalam situasi (sosial-politik) hingga muncul sebuah perspektif self-centered yang juga menjadi landasan dari modernisme itu sendiri.


C. Shockumentery Evidence: The Perverse Politics of the Mundo Film
Mark Goodall membahas sebuah genre film yang tidak masuk hitungan dalam sejarah sinema, film mondo. Genre ini lahir dari sebuah film berjudul “Mondo Cane”. Tidak sedikit pengkaji film memberi kritik negatif tentang film mondo, hingga mendapat status ‘bad films’ karena dianggap menyimpang dari kerja seni konvensional. Walaupun demikian, Goodall melihat kekurangan mondo sebagai kelebihannya yang memiliki aspek eksploitasi dan voyeurisme yang dikemas secara politik dengan bentuk yang ‘jelek’ dalam menggambarkan iklim sosial dan budaya.
Perlawanan secara politik yang muncul dari film-film mondo ini karena adanya intervensi dari Italia, para filmmaker yang mencoba memenuhi keinginan penonton Italia yang sangat mengagumi seksualitas yang seksi. Estetika akan ketidaketisan ini dipertegas kembali oleh Christian Hansen, Catherine Needham dan Bill Nichols yang menggambarkannya sebagai ‘pornotopia dan etnotopia’, dimana film merepresentasikan secara operasi semiotik sebuah patologi voyeuristik.



seakan kesimpulan
Mungkin seniman-seniman diatas pantas mendapat sebutan sebagai ‘Badut Politik’, representasinya secara politik yang penuh dengan simbol sosial-budaya menggambarkan situasi/keadaan yang ada. Berada dibalik topeng sebuah tradisi dan seni kelas bawah memberikan mereka posisi aman dalam berekspresi, karena status dari Carnivalesque tersebut yang memudarkan batasan sebuah peran (performance/act) dengan realita kehidupan sehari-hari.

reference
- Stephanie Dennison dan Song Hwee Lim. Remapping World Cinema, Identity, Culture and Politics in Film. Wallflower Press. New York dan London : 2006.

3 komentar: